Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Minggu, 08 Mei 2011

cerpen : GADIS KECIL

Gadis kecil itu, seorang pedagang buah keliling. Setiap hari sekitar pukul sembilan pastilah lewat di depan sekolah , tempatku mengajar.  Beberapa kali terlihat berhenti sebentar di depan sekolah mungkin berharap ada yang akan membeli dagangannya. Kupikir enak juga makan buah, sambil mengawasi murid yang sedang beristirahat.  Suatu hari akhirnya kupanggil juga gadis kecil itu.  Ia tersenyum lebar dan dengan cepat menuju ke arahku, yang melambaikan tangan memanggilnya. Aku menunggu seraya duduk di bangku depan kantor guru. Sesaat kemudian dia datang dan menurunkan talam besar berisi buah yang telah dikupas bersih dan dibungkus plastik. Karena kulihat ia sedikit kerepotan dengan dagangannya yang masih penuh dibandingkan tubuhnya yang ringkih, maka kubantu dia meletakkan dagangannya di atas meja.
Wah.. banyak macam buah ternyata. Pisang rebus, nanas, papaya , melon dan semangka yang sudah di kupas dan dipotong potong. Kuambil beberapa buah yang kusukai , begitu juga temanku sambil bertanya ini dan itu. Seperti dia dari mana, siapa namanya , kenapa bisa berjualan di sini , tinggal dimana dan banyak lagi . Tentunya yang bertanya bukan aku saja tapi juga teman teman guru yang lain yang notabene perempuan. Ya, tahu kan perempuan, biasa lebih banyak ngomongnya. Bahkan ada yang menawar dagangannya setengah harga. Si gadis , pedagang buah hanya tersenyum kecut.
            Awalnya gadis kecil pedagang buah itu malu – malu dan masih sungkan menjawab pertanyaan kami. Dia bilang , namanya wati, dari sebuah desa di kabupaten paling ujung timur pulau bali. Dan tinggal di Denpasar sudah setahun, katanya dengan bapak ibu dan tiga adiknya. Sementara teman – teman lain bertanya , aku lebih tertarik mengamati wajah dan tingkah lakunya. Anak ini manis, kulitnya putih bersih. Ada tahi lalat kecil diatas bibirnya. Kalau saja terawat pastilah terlihat lebih cantik. Tidak terlalu tinggi ataupun pendek. Cuma terlihat kurus dibalik bajunya yang kedodoran. Rambutnya ikal mayang, sangat bagus sebetulnya, hanya saja sepertinya jarang di keramas.  Ketika ditanya umurnya , dia bilang tidak tahu. Mungkin sepuluh atau sebelas tahun. Tapi kupikir dia berumur sebelas atau dua belas tahun. Lalu kami selesai berbelanja dan gadis kecil itu segera mengangkat dagangannya, menjujungnya di atas kepala dan dia berlalu dari hadapanku. 
            Begitulah kemuadian kami berlangganan buahnya setiap hari. Semakin lama karena sering digoda, ia mungkin merasa sedikit akrab. Bahkan beberapa teman pernah memberikan baju bekas anaknya kepada gadis kecil itu yang menerimanya dengan mata berbinar-binar senang. Tanpa dipanggilpun, gadis itu akan datang dan menurrunkan dagangannya di depan kantor di meja piket. Meskipun itu sebenarnya sedikit mengganggu tapi kami tidak sampai hati untuk mengusirnya, dan selalu ada saja satu dua orang yang membeli buah – buahnya. Suatu hari ketika dia datang dan aku tidak sedang mengajar, dia bertanya padaku, “ Bu ..Apakah ibu memang bercita cita menjadi guru ?” 
Aku berpaling dari buah yang sedang kupilih dan melihat wajahnya. Kelihatannya dia serius ingin tahu, tapi aku hanya menjawab dengan tertawa dan balik bertanya “ memangnya kenapa ? apa saya kelihatan tidak cocok menjadi guru ?”
“ emmm…. Bukan begitu bu, saya suka menjadi guru” katanya malu malu.
“ kamu ? mau jadi guru ya ? pernah sekolah ? atau masih sekolah ?” aku bertanya lagi, kali ini kutanggapi dengan sedikit serius. Aku lupa apakah ia pernah bercerita pernah sekolah atau masih bersekolah. Jadi kutanyakan lagi.
“ sebenarnya pernah bu, sampai kelas tiga “ katanya. Matanya menatap ruang ruang kelas di seberang halaman yang sedang ramai oleh celoteh para siswa dan suara guru yang sedang menjelaskan. Seolah ia teringat ketika masa bersekolah dulu. “ tapi sekolah saya di desa bu, jelek, tidak sebagus sekolah disini,” lanjutnya. Aku hanya tersenyum. Tidak menanggapi benar apa yang diucapkannya. “ Sekolah saya dulu, halamannya penuh debu, air sangat susah di desa kami, kadang – kadang ada air kalau musim hujan. Tapi tempatnya jauh dan kepala sekolah menyuruh kami mengambil air untuk mengisi bak penampungan di sekolah dan menyiram tanaman “ Aku mulai larut dalam ceritanya. Kuperhatikan bibirnya dan tatap matanya yang terbelit kenangan di desanya. Tiba – tiba aku merasa antusias menunggu certanya. Tanpa terasa aku bertanya “ trus ?”  Dia menoleh ke arahku mengalihklan sejenak pandangan matanya dari ruang – ruang kelas di depannya. “ trus apa bu ?” tanyanya polos.
“ maksud saya, kenapa kamu berhenti bersekolah kalau ingin menjadi guru ?” tanyaku.
Dia menatap kakinya dan menggerak gerakkannya seolah mengorek tanah, sebelum menjawab sambil menunduk, “ bapak dan ibu menyuruh berhenti, suruh bantu membuat gula. Adik saya tiga, masih kecil “ Pandangannya menerawang . “ Desa kami sangat kering, tidak ada mata pencaharian apapun yang bisa menghasilkan banyak uang. Karena itu kemudian kami pindah kemari” Tiba tiba kulihat ia menjadi dewasa, lebih dewasa dari umurnya. “ Air tidak ada , tanaman sulit tumbuh, bapak ibu dan saya hanya hidup dari menjual gula merah.” Ya … desa itu memang sangat kering , hanya pohon lontar yang bisa hidup.. Dan apalagi yang bisa dihasilkan dari pohon lontar, tentunya airnya yang diolah menjadi gula merah.
“ bu…. Boleh saya pinjam buku ?” tanyanya seolah telah kembali dari pengembaraannya ke masa lalu. Aku mengernyitkan dahi “ pinjam buku ?” tanyaku. “ Tidak boleh ya bu ?” tanyanya sungkan. “ Buku apa yang mau kamu pinjam ?” aku bertanya takut dia kecewa. “ kalau boleh,, buku apa saja untuk dibaca, saya belum lancer membaca, saya takut menjadi lupa kalau tidak sering membaca lagi “ katanya dengan mimik serius. Hatiku terharu mendengar kata katanya. Lalu aku masuk ke ruang guru mengambil sebuah buku cerita di atas meja. Kebetulan tadi aku sempat mengambilnya dari perpustakaan sekolah. Dan kuambil juga sebuah buku tulis kosong dan sebuah pensil. Biarlah sekalian kuberikan padanya. Kasihan. Ketika keluar , ternyata gadis kecil itu sudah tidak ada lagi. Aku lihat berkeliling, rupanya dia sedang mengintip anak-anak yang sedang belajar di kelas. Aku menggelengkan kepala. Dia menoleh ketika aku memanggilnya. Kuserahkan padanya sebuah buku dan pensil yang kuambil tadi, seraya mengingatkannya agar tidak melihat anak anak belajar lagi, karena akan mengganggu konnsentrasi mereka. Dia minta maaf dan setelah mengucapkan terimakasih atas pemberianku serta berjanji akan mengembalikannya jika sudah selesai, gadis itupun berlalu kembali , berjalan semakin menjauh membawa buah – buahan dagangannya . Terkadang, ia berjualan sampai sore,  sampai dagangannya habis terjual.
            Setelah hari itu, ia masih sering datang ke sekolah , tempatku mengajar, masih berjualan buah, masih sering meminjam buku, dan masih sering juga bercerita tentang desanya, tentang keluarganya, tentang adiknya yang menurutnya hanya bisa meminta uang saja, terutama adik bungsunya yang berumur enam tahun. Masih sering bertanya tentang ini itu yang terbersit dalam pikirannya, seperti mengapa orang bersekolah harus memakai seragam ? atau mengapa murid murid harus mengikuti upacara bendera ? Ah…. Pertanyaan itu, gampang gampang susah juga menjelaskan hal itu padanya . Sampai suatu hari ia tidak pernah datang lagi.
            Karena lama tidak muncul, kami semua menanyakan satu sama lain. Kenapa ya , dagang buah itu tidak muncul lagi ? Aku bertanya tanya juga dalam hati bukan karena satu buku ceritaku sedang dipinjamnya, tapi rasa kangen juga mendengar ceritanya. Kami juga sudah rindu ingin ngemil buah buah segar yang dibawanya, sambil istirahat di ruang guru atau mengawasi murid. Tapi gadis kecil dagang buah itu tak kunjung muncul juga.
Beberapa bulan setelah gadis kecil itu tidak muncul lagi, dan kami telah hampir melupakannya, tiba – tiba sebuah berita mengejutkan dibawa oleh seorang temanku. Katanya, ia melihat gadis itu, sangat berbeda, sekarang berjualan nasi ‘jinggo’ tiap malam di pinggir jalan, dengan pakaian yang ‘seronok’ . Sudah bukan rahasia lagi, beberapa pedagang nasi ‘jinggo’ nyambi menjadi gadis ‘cemilan pria nakal’.
Ah.. aku menyangkal, tidak mungkin. Anak itu masih terlalu kecil.
‘ Benar bu, coba saja kesana sendiri, malam baru buka diatas jam delapan, saya yakin itu dia, saya lihat rambutnya dan tahi lalat kecil diatas bibirnya itu”
Dalam hati, masih kusangkal berita itu. Entah kenapa hatiku tidak rela. Seolah ada yang meremas hatiku.
            Maka itu, dengan harapan dagang nasi yang disebut temanku, bukanlah gadis kecil yang kukenal itu, dan rasa penasaran yang teramat mengganggu, aku mencoba datang ke tempat yang disebutkan temanku. Dibawah sinar lampu jalanan yang remang remang, kulihat dua orang gadis sedang berjualan dengan sebuah meja kecil. Itu dia. Kudekati dengan sepeda motorku dan berhenti tepat di depan dagangan mereka. “ Beli nasi ya bu ?” tanya seorang dari mereka. Memang pakaiannya sedikit menor. Ah… aku menggeleng sendiri. Kubuka kaca helm dan kulihat seorang diantara dua gadis itu. Darahku terkesiap, memang benar , gadis kecil dagang buah  itu, yang selalu datang dengan baju kedodoran, rambut kaku karena jarang diberi sampo, dan raut muka yang lugu, kini telah berubah hanya dalam hitungan bulan, denga rias muka, bedak, gincu , sedikit pewarna di kelopak mata, dia tampak cantik dan manis dengan tahi lalat kecil di atas bibirnya. Bajunya merah tanpa lengan, dengan leher yang rendah. Entahlah pakaian bawahnya, tidak terlihat jelas karena duduk di belakang meja.
“ wati ?” sapaku. Ia tampak terkejut dan mengamati wajahku yang masih memakai helm. “ibu ?” dia sedikit terkejut. “ Ibu guru ya ? emmm…. Tumben bu , beli nasi malem malem di sini . Oh ya… buku nya belum saya kembalikan” katanya cepat seolah menutupi  keterkejutannya melihatku. “ Tidak apa, tidak usah dikembalikan “ Hanya itu yang keluar dari mulutku. Dan setelah membayar , akupun segera berlalu. Apa yang harus kukatakan ? Hanya dia dan keluarganya yang tahu , dan mengerti mengapa perubahan itu harus terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar