Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Minggu, 08 Mei 2011

cerpen : SEBUAH KISAH YANG TERLUPAKAN


Hari sudah rembang petang ketika Sari mulai menggelar dagangannya, di sebuah warung kecil di pinggir jalan dimana ia berjualan setiap hari. Warung kecil dengan ukuran dua kali tiga meter itu tempat mereka sekeluarga menggantungkan harapan masa depannya dan adiknya. Dengan sebuah meja panjang dan tiga buah bangku panjang yang dipasang mengitari meja.

Ibunya sedang mengambil air untuk cucian di sumur dekat warung mereka. Sari menata minuman di atas meja. , membersihkannya dari debu – debu yang berterbangan di jalan sambil mendengarkan lagu – lagu dari sebuah radio kecil yang dibawanya dari rumah.
Lampu – lampu mulai menyala dari rumah – rumah penduduk di sekitarnya. Ketika ibunya datang dan menyalakan lampu, ia masih membersihkan bangku – bangku panjang dengan sehelai kain , bekas baju adiknya yang sudah tak cukup lagi untuk dipakai. Tentu saja . Kalau baju itu masih cukup, meskipun sudah lusuh pasti tak mungkin menjadi pembersih meja itu.

“ Mudah – mudahhan saja hari ini ramai ya “ gumam ibunya dari belakang warung. “ Sudah banyak kita berhutang beras belakangan ini di toko Pak Wayan “
 
Sari mendengar keluh ibunya, tapi masih diam. Ia sudah terlalu sering mendengar keluhan itu belakangan ini. Terdengar balai bambu di belakang berderit pertanda seseorang telah duduk diatasnya. Tentu itu ibunya, yang akan setia menemaninya disana sampai tengah malam nanti.

Sari duduk di bangku samping meja, sambil memandang ke arah jalan . Terdengar sesekali suara tawa beberapa lelaki yang sedang berkumpul ditemani minuman keras di balai banjar . Sesekali pula didengarnya suara bapaknya dari arah yang sama sambil tertawa tawa . Bagi Sari suara itu terdengar menjijikkan. Sudah terlalu sering seperti itu. Dan suara tawa bapaknya itu hanya akan berhenti ketika subuh tiba dan pulang dalam keadaan mabuk Ah….. dia mendesah sendiri. Dipandangnya keujung jalan, masih sepi. Sari teringat rengekan adiknya tadi siang pada ibunya. “ mak… ningsih malu, teman – teman semua sudah membayar uang buku,, Cuma Ningsih saja yang belum mak..” Dan seperti biasa ibunya hanya mengatakan “ sabarlah.. mudah – mudahan malam ini ramai, jadi besok kamu bisa membayar uang buku itu ..” Sari tahu , dari ujung matanya , ibu sedang memandangi dirinya, entahlah apa maknanya.
Beberapa hari yang lalu memang bapak datang saat subuh setelah tiga hari pergi entah kemana. Tentu saja bapak hanya meminta uang dari ibunya. Sari terbangun ketika didengarnya suara ribut dari kamar ibunya.
“ bujuk anakmu itu, biar mau seperti si Kanti itu. Jangan sok , seperti orang kaya “ suara bapak setengah berteriak.
“ tapi pak.. Sari tidak mau , lagipula saya juga tidak suka dengan cara si Kanti menarik pelanggan kita “ kata ibu pelan.
“ kamu juga jangan sok.. sudah tidak makan – makan masih sok saja “ teriak bapak lagi diiringi suara sendawa yang hebat. Pasti mabuk lagi. Kasian ibu ,,
“ lebih baik kujual saja anak itu pada orang kaya kalau dia tak mampu mendapatkan uang tiap malam “ kata bapak lagi. Kali ini terdengar suara pintu dibanting dan suara sandal yang diseret menjauh .
Seorang lelaki tua menghampiri warung kopi , menghentikan lamunannya,,
“ kopi satu “ katanya, sambil duduk di bangku depan meja.
Sari bangkit dan menyiapkan secangkir kopi.
“ sepi ya ?” katanya lagi, Sari hanya mengangguk. Disajikannya secangkir kopi, lalu ia duduk kembali.
“ Kenapa kamu tidak seperti si Kanti saja ? Lihat.. warungnya selalu ramai bahkan sampai besok pagi “ kata lelaki tua itu sambil menyeruput kopinya dengan nikmat. Sari tak menanggapi.
“ Baru beberapa bulan buka warung kopi, sekarang sudah bisa kredit motor, apa kamu tidak mau seperti itu ? “ lanjut lelaki tua itu lagi. Seingatnya lelaki tua ini memang sering datang ke warungnya. Kata ibunya dia tidak punya keluarga. Suka bekerja serabutan. Sepertinya orang baik, tidak seperti beberapa orang yang datang kewarungnya, bukan hanya untuk berbelanja tapi minta lebih. Colek sana sini. Dan Sari tidak suka. Tapi itulah yang diharapkan bapak, seperti si Kanti itu, sehingga banyak langganan Sari beralih ke warungnya.

Karena Sari tidak menanggapi lelaki itupun diam saja menikmati kopinya. Setelah membayar , diapun pergi. Warung Sari kembali sepi. Sari teringat kakaknya yang dulu yang menjaga warung ini tiap malam. Entah dimana dia sekarang. Dia pergi dari rumah, dan Sari sendiri tidak mengerti apa masalahnya. Mungkin dipaksa ayahnya juga. Ah… apa aku harus pergi juga ? pikirnya. Tapi kalau aku pergi bagaimana dengan sekolahku yang tinggal beberapa bulan lagi. Lagipula apa yang akan kukerjakan dengan hanya bermodal ijasah SMP , mungkin hanya menjadi seorang pembantu rumah tangga. Sedangkan sedikit lagi ia sudah akan menamatkan SMA nya. Dan bagaimana dengan ibu dan adiknya jika ia pergi ? Apa yang akan mereka lakukan ? tak mungkin buka warung karena adiknya masih terlalu kecil, baru kelas enam SD . Paling paling mereka hanya bisa menjadi buruh angkut pasir, atau pemecah batu di pantai. Mungkin aku harus mengikuti kemauan bapak, seperti si Kanti itu, yang selalu tertawa genit pada pelanggan yang datang, dan berpakaian minim yang memperlihatkan bentuk tubuhnya, atau membiarkan siapa saja memegang bagian tubuhnya ? Ah………. Dan malam itupun berakhir dengan beberapa pembeli, yang tak ‘ berduit ‘ .

Pada malam berikutnya, terlihat Sari duduk di bangku depan mejanya, dengan pakaian yang begitu minim , seperti si Kanti, saingannya itu. Rok mini dan baju ketat tanpa lengan yanmg memperlihatkan bentuk tubuh dan kulitnya yang mulus. Terlihat jauh lebih cantik dan Kanti yang sedikit kelebihan berat itu. Ibunya hanya terdiam memandanginya bersolek, sore tadi. Hanya di matanya terlihat kesedihan yang begitu nyata. Kemiskinannya telah memaksanya untuk bungkam, dan memaksa anaknya untuk melakukan yang tak ia kehendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar