Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Jumat, 16 Mei 2014

NYANYIAN PELANGI

“lumpuhkanlah ingatanku , hapuskan tentang dia , hapuskan memoriku tentangnya
hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia, kuingin kulupakannya”

Hujan sudah berhenti, tapi kabut mulai melayang diantara daun pinus dan cemara senja itu. Barisan bukit yang mengelilingi danau Batur, tak lagi terlihat jelas. Kabut mulai menghalangi pandangan. Serupa awan putih yang melayang layang , tepat di atas air danau yang tenang. Langit yang biasanya biru cerah, gelap. Angin dingin berdesir terasa mengiris kulitku.

Kurapatkan syal di leher, dengan sebuah switer yang tidak terlalu tebal, membuat dingin masuk menyapa kulitku. Hanya sebentar, kataku pada diri sendiri. Hatiku mencoba memberi pembelaan terhadap pikiran yang melarangku untuk duduk di teras saat cuaca sedingin ini.

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memahami, bahwa aku begitu betah dengan tempat ini. Danaunya, bukit bukit yang menghijau di kejauhan, langitnya yang biru, kebun-kebun petani bawang dan sayuran yang hampir merata menghias sepanjang bibir danau. Dan kenangan itu. Ya kenangan bersamamu di sini. Ah…sekali lagi aku mengeja nama itu. Nama yang tak pernah lekang dalam benakku. Pram..

Kukibaskan kepala, menolak segala bayangan yang datang, selalu setiap kali kabut jatuh di senja hari. Ah….  Dengan pelan aku menjangkau secangkir kopi di atas meja kayu, mencoba menghalau dingin dan juga seraut wajah yang tersenyum dalam ingatanku. Sekuat tenagaku menolak sekuat itu pula dia hadir memaksaku mengingat semua tentang dia. “wid… sebaiknya engkau biarkan bayangannya datang dalam ingatanmu. Semakin engkau menolaknya maka semakin dalam dia akan memaksamu” seruan dari dalam hatiku.

Sesungguhnya aku tak ingin kembali ke tempat ini , tapi kesehatanku, memaksaku untuk berada disini dalam jangka waktu yang lama. “Udara kota tidak baik bagi paru-parumu. Sebaiknya engkau tinggal di villa lagi, di Kintamani” kata Rudi, kakak yang sekaligus juga dokter yang merawatku sejak aku dinyatakan terkena paru paru basah. Ah…bukan aku tidak suka, tapi aku ingin melupakan semua kenangan bersamanya, semuanya yang begitu indah tapi menyakitkan .

Dan setiap senja dengan kabut yang mulai turun, wajahnya pasti akan hadir kembali. Dulu, dia bukan sekadar memalingkan duniaku, tapi sekaligus juga menjungkirbalikkannya berbulan-bulan. Dia  memenuhi penuh ruang imajinasiku tentang keindahan cinta. Secara total aku telah lumpuh dari segala rasa, selain rasa cintaku kepadanya. Aku kehilangan kemampuan untuk mencinta, selain kepada dirinya.  

Enam bulan bagiku seolah telah mengenalnya bertahun tahun. Cinta kita bukan semata mata apa yang terlihat, senyum, tubuh, ataupun kata, tapi hati. “Mencintalah dengan hati” katamu waktu itu, saat kita mulai mengerti bahwa aku membutuhkannya dan dia membutuhkan aku. Hampir setiap lekuk dari tempat ini adalah dirinya. Tepi danau , diatas perahu, jalan setapak ke kebun sayur, batuan yang bertebaran di pinggir jalan besar menuju kota, daun daun cemara, pucuk pucuk pinus, awan putih, langit biru, air yang tenang, semuanya adalah dirinya.  

Air mataku menetes kembali, bagaimana aku melupakannya , jika setiap yang kulihat mengingatkanku padanya.  “jangan menangis ya.. “ lalu dia menarik tanganku mengajakku berdiri di depan kaca, “tu liat..wajahmu jelek sekali kalau menangis” katanya menunjuk wajahku yang sembab. “kamu jahat..” kataku, sambil memukuli pundaknya. Dia memang sangat suka menggodaku. Sepagi itu aku menelponnya seperti biasa tapi dia tidak mengangkat telponnya. Aku telpon berkali kali, belum diangkat juga. Hatiku mulai cemas. Ada apa. Lalu datang sebuah sms yang berbunyi ‘maafkan aku, aku sudah pulang ke Jawa’.  Deg….Tiba tiba hatiku sakit. Sakit sekali. Aku menangis. Aku jawab sms nya dengan ucapan berkali kali , kenapa pergi tanpa pamit, kenapa tinggalin aku “ Tapi tiba tiba dia nongol di depan mataku sambil tertawa. Kontan saja aku marah semarah marahnya memukulinya bertubi tubi, tapi dia menangkis pukulanku hanya dengan tertawa. Ah… ternyata dia hanya menggodaku. Kenangan itu selalu membuatku tersenyum sendiri.  

Aku mulai berpikir , barangkali takdir memang harus mempertemukan aku dengan dia. Dia hidupku, aku merasa tidak bisa hidup tanpa dirinya. Perhatian dan kasih sayangnya membuatku bangkit . Aku yang sudah tak punya harapan untuk hidup lagi karena penyakit yang kuderita, pelan pelan tapi pasti mulai merasa bahwa ternyata hidup masih berpihak padaku.

“Ayo kita jalan … “ suatu kali dia menarik tanganku. “Ah.. tidak mau.” Aku menolak ajakannya. “Ayolah… please…” katanya memohon seperti biasa. Matanya yang memang sayu di buat semakin memelas, mimiknya seperti anak yang merengek meminta mainan dari ibunya. Ah…kebiasaan, senyumku dalam hati. Tapi aku masih menampakkan wajah tidak mau. Aku selalu ingin melihatnya merengek manja seperti biasa. “Ayolah sayang… aku ingin mengajakmu ke suatu tempat” rengeknya lagi. “udara sedingin ini, memang mau kemana ? lebih baik kubuatkan kopi untukmu, oke ‘’ kataku. “ahhh…nggak mauuuuuu” gemes aku melihat wajahnya yang dibuat seperti anak TK itu. Akhirnya aku menuruti keinginannya. Selalu, dia mengandalkan wajahnya yang memelas dan matanya yang sayu itu.  

Kami berjalan di seputar danau. Ngobrol tentang apa saja. Tentang burung yang kebetulan melintas di langit sore itu, tentang gunung yang selalu terlihat indah, tentang jalan yang berliku liku, tentang air, bahkan tentang bintang dan pelangi. Ya.. pelangi. Saat itu kami bersitegang, dia suka bintang tapi aku bilang aku lebih suka pelangi. Dia menyukai bintang karena bersinar , menerangi malam. Tapi aku lebih suka pelangi karena pelangi indah, berwarna warni. “ Bintang itu bersinar, tidak pelit, semua mendapatkan sinarnya. Dia bersinar menerangi kegelapan” kata Pram. “ Ah…aku lebih suka pelangi. Pelangi itu indah. Menghibur dan semua orang suka dengan pelangi” kataku kesal. Aku tahu , aku akan selalu kalah berdebat dengannya. Dia selalu pintar memutar balikkan kata, membuatku tak bisa menjawab apapun lagi. Tapi kali ini dia diam. Dan setelah itu dia selalu memanggilku…pelangi jelekkkkk…dan aku merasa menang dan tertawa .  

Lagu dari Geisha, Lumpuhkanlah Ingatanku , terdengar dari radio yang sengaja kubiarkan hidup di ruang tengah. Sayup sayup liriknya menyadarkan aku. Itu Aku. Pelangi jelek sudah tidak ada lagi. Air mataku menetes melewati pipi. Dan laki laki itu, Pram, entah dimana dia sekarang. Aku sudah tidak mendengar kabarnya beberapa bulan ini. Dia pergi tanpa pesan apapun, sekalipun hanya sekedar sms. Hingga aku pulang ke Denpasar, mencari tahu dari teman teman yang pernah dia ceritakan padaku dulu, di kampusnya, di tempat kontrakannya, tapi dia pergi seolah ditelan bumi. Ada apa ? Dimana ? Pertanyaan itu tak terjawab hingga saat ini. Hingga aku kembali lagi ke tempat ini.

Berhari hari aku berharap, seandainya..ya.. senandainya saja. Saat aku duduk di beranda memandang danau di senja hari, berteman secangkir kopi dan sebuah buku, tiba tiba ada yang menepuk pundakku atau berteriak mamanggilku dari ujung jalan, “Pelangi jelekkkkkk…”  

Hp yang kutaruh di atas meja bergetar, sms masuk. Kuraih dengan pelan tapi penuh harap seperti biasa. kuharap kabar dari seseorang yang kini entah ada dimana. ” Maaf aku tidak bisa menemanimu lagi, jaga dirimu baik baik, aku pergi dan tidak akan kembali, maafkan aku, pelangi “ Kabut turun dengan cepat, kali ini semua gelap, bahkan pagar bambu di depan rumahpun tak terlihat lagi. Semua menghilang, kabur oleh kabut dan air mata yang jatuh tak terbendung lagi.

Denpasar, 10 Nopember 2013 , Selamat Hari Pahlawan

GELANG

Suara sepeda motor memasuki pekarangan. Aku segera menghentikan kegiatanku menjahit yang semenjak siang menyita perhatianku. Aku sedang membuatkan kebaya untuk anakku satu satunya. Kualihkan pandangan kearah halaman dari jendela yang terbuka. Seorang pemuda turun dari motornya. Rani, anakku keluar dari kamarnya.

“Siapa nak ?” tanyanya. “oh.. itu Beni ma, yang sering aku certain ke mama” lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Oh.. jadi itu Beni, yang sering dia cerita. Anakku cukup terbuka denganku soal teman temannya bahkan teman dekatnya. Dan Beni sudah cukup lama dekat dengan Rani, hanya saja, Beni bekerja di kota Singaraja, sedangkan kami tinggal di Denpasar, jadi mereka jarang ketemu. Kalau tidak salah mereka sudah kenal selama setahun. Ini kali pertama Beni datang ke rumah.

“Ayo masuk Ben, itu mamaku” Rani mengajak Beni masuk dan memperkenalkannya padaku. Wajahnya manis, khas orang timur, begitu biasa kami, orang Bali menyebut mereka yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Perawakannya juga bagus. Kulitnya sawo matang tapi bersih. 

“Selamat sore tante” sapanya dengan suara khas. Duh… hatiku terkesiap. Suara itu seperti suara yang sering menyapaku bertahun tahun lalu.

“Ya.. sore nak..” jawabku setelah berhasil kembali dari terkejutku.“Silakan duduk dulu Nak. Rani, suruh dong temennya duduk trus buatkan minum. Nak Beni mau minum apa ?” keramahan seperti biasa sebagai tuan rumah. Ternyata anakku sudah dewasa kini, dia sudah punya pacar, lalu..? ada tanya dalam hatiku, atau tepatnya sebuah ketakutan, ketakutan terhadap kesendirian.

Rani anakku satu satunya, tempat harapan kugantungkan. Kini dia sudah dewasa, kuliahnya bahkan hampir rampung. Tinggal menunggu wisuda. Seminggu yang lalu sudah yudisium dengan prestasi yang membuatku bangga, cum laude.  Dia sudah membuatku bahagia, sekarang, sudah waktunya bagi dia untuk membina masa depannya sendiri. Lalu aku ? aku akan duduk sendiri menunggu usia menua dan ajal menjemputku. Ah ketakutan yang kerap menghantui datang lagi.

“Apa saja Tante, air putih juga boleh, heheee…” jawab Beni berseloroh mengumpulkan kembali pikiranku yang tadi menerawang.

“Masa jauh jauh dari Singaraja, cuma disuguhin air putih,” jawabku sambil tersenyum.

Sementara Rani membuat minuman, aku menemani Beni di ruang tamu.

“Nak Beni sudah lama kerja di Singaraja ?” tanyaku

“Sudah hampir setahun Tante,”

“Kerja dimana ?”

“Saya wartawan Singaraja”

“Oh.. wartawan tv toh” degup jantungku bertambah cepat dari biasanya. Bukan karena usiaku yang sudah mendekati pensiun tapi ada sesuatu yang tiba tiba saja berkelebat di depan mataku setelah mendengar jawabanya. Begitu juga saat mata pemuda itu beradu pandang denganku. Mata yang teduh.

Untung Rani segera datang dan aku bisa segera menyingkir, membiarkan mereka berdua ngobrol dengan bebas.

Aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan. Punggungku agak terasa sakit mungkin karena seharian duduk menyelesaikan kebaya anakku Rani. Sejak kecil aku terbiasa membuatkan baju terutama kebaya sendiri untuk anakku itu. Selain karena hobi, aku merasa puas saat melihat tubuhnya yang ramping memakai hasil karyaku. Dengan rambut yang ikal mayang, hidung mancung , dia terlihat manis dengan kulit sedikit gelap. Dulu dia sering kesal dengan warna kulitnya itu. Saat jaman SMP, dimana teman sebayanya mendewakan kulit putih. Tapi kunasehati dia, bahwa apa yang diberikan Tuhan itulah yang terbaik, karena kukatakan dia mirip ayahnya. Dan untuk meyakinkan dia, serta menyenangkan hatinya, kuberikan dia sebuah gelang peninggalan ayahnya yang biasa kupakai. “ pakailah Nak, ini peninggalan ayahmu. Kemanapun engkau pergi, dia akan menemanimu.”

Rani tidak pernah mengenal ayahnya atau suamiku. Suamiku sudah meninggal saat dia masih kecil. Masih dalam gendongan. Kayun, suamiku adalah lelaki yang baik. Bahkan sangat baik. Mungkin karenanya ia cepat dipanggil Tuhan, seperti orang bilang. Dia menerimaku apa adanya. Tak peduli dengan keadaanku yang sedang hamil tiga bulan. Dia menganggap Rani sebagai anaknya sendiri. Dan tidak pernah berusaha untuk tahu siapa ayah Rani sebenarnya.

Setelah kami menikah, suamiku berhasil membeli sebuah rumah kecil, yang kini aku tempati. Usahanya sebagai seorang tukang jahit lumayan memberi keuntungan. Akupun membantunya bekerja sebagai tenaga honor di sebuah rumah sakit. Tapi sayang kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Suamiku meninggal kecelakaan saat pergi mencari bahan untuk pesanan pakaian. Nyawanya tidak tertolong. Semenjak itu aku kembali hidup berdua dengan Rani. Yang kupikirkan hanya membesarkan dia tanpa keinginan untuk menikah lagi

“Ma.. Beni mau pulang” suara Rani di depan pintu kamarku, mengejutkanku.

“Ya Nak, sebentar” aku bangun dari tempat tidur dan mendapati mereka berdua di ruang tamu.

“Kok buru buru sekali Nak ? apa harus kembali ke Singaraja hari ini ?”

“Saya kembali besok Tante. Saya akan menjemput Bapa di bandara. Beliau ada urusan di Bali”

“Oh.. begitu, ya sudah hati hati ya Nak..”

“Trimakasih Tante.. “ Beni berpamitan , Rani mengantar sampai di gerbang halaman rumah kami.

Aku memandang mereka dari jauh. Ada rasa bahagia tapi juga rasa sedih.

“gimana ma ?” tanya Rani setelah Beni berlalu

“gimana apanya ?” tanyaku pura pura tidak mengerti.

“Ah.. mama.. bagaimana menurut mama, Beni itu ?  Aku kan sudah sering cerita ke mama”

Aku tertawa kecil melihat wajahnya merengut manja, “ Kamu cinta ya sama dia ?”

“Aduh mama… ya lah.. kalau tidak cinta masa aku mau jadi pacarnya .. gimana ma ? serius ma.. bagaimana menurut mama ?”

“ehmmm…anak itu kelihatan baik. Pekerjaan juga ada.. Cuma..” ucapanku menggantung.

“Cuma apa ma ? karena dia beda keyakinan dengan  kita ? itu ma ? bukankah kita sudah pernah membahas ini sebelumnya ?”

Benar, sahutku dalam hati. Suka atau tidak , perbedaan keyakinan tetap menjadi sesuatu yang mengganjal dalam sebuah hubungan, bagaimanapun kita berusaha untuk menerima bahwa agama itu sama, sama sama menyembah Tuhan, tapi rasa tetap tidak sama.

“mama ? mama kenapa diam ? mama masih keberatan karena dia Katolik dan kita Hindu ?”

Aku menarik nafas panjang. Berat bagiku menjawab pertanyaan anakku. “Apa kamu yakin Nak? Apa kamu yakin dengan pilihanmu ? Benar mama selalu mengajarkan padamu semenjak kecil, bahwa kita hidup dalam kebhinekaan, dan bagi mama semua agama mengajarkan yang baik, karena itu bagi mama semua agama sama, walaupun menyembah Tuhan dengan nama yang berbeda. Mungkin bagi orang lain prinsip ini salah. “ 

“Lalu ..?”

“Tapi bagaimanapun, keyakinan memiliki konsekwensi adat dan budaya yang berbeda. Adat dan budaya kita berbeda dengan mereka, apa kamu siap Nak ? Karena seorang perempuan akan mengikuti agama suaminya setelah mereka menikah. Benar , ada yang tetap memilih pada keyakinannya masing masing. Tapi lebih baik untuk hanya ada satu nahkoda dalam satu perahu” aku menatap tepat di bola matanya. Mencoba mencari jawab tentang kesungguhan hatinya.

“mama… untuk apa aku kuliah dan mendapat predikat sangat memuaskan, kalau aku tidak bisa belajar untuk memahami hal itu ? Manusia selalu mampu beradaptasi kalau dia mau belajar ma.”

Dan sekali lagi perdebatan tentang keyakinan malam itu dimenangkan lagi olehnya. Akhirnya aku memang harus menyetujui hubungan mereka.  Aku mengakui, dia, anakku jauh lebih berani dari pada aku dulu saat seusia dia.  Dan sesuatu yang mengejutkan diungkapkan anakku, bahwa kedatangan ayah Beni adalah hendak melamar putriku satu satunya itu. Ya Tuhan apakah secepat itu aku harus kehilangan anakku ?

Seminggu setelah perbincangan itu, Beni melamar Rani dihadapanku dan memohon izin mengajak ayahnya datang secara resmi untuk membicarakan pernikahan mereka. Aku mengiyakan saja.  Aku mencoba menekan pikiran pikiran burukku sendiri tentang hidup dalam sepi yang panjang. Apalagi Rani selalu menyakinkan aku, bahwa dia tidak akan meninggalkanku sendirian. Dia akan bekerja di Denpasar begitu juga Beni, akan mohon untuk dipindah tugaskan di Denpasar sehingga mereka tetap bisa menjagaku. Hatiku terenyuh melihat mereka berdua begitu memperhatikan aku. Jadi ketakutan apa yang mesti aku pelihara lagi. Tidak ada. Selain menerima dengan sukacita pernikahan mereka.

Sekalipun beberapa keluarga menyatakan tidak setuju tapi aku berusaha memberi mereka pengertian. Dan bisik bisik terdengar dari kiri kanan, bagaimana aku telah melanggar nasehat dan pendirian almarhum ayahku, yang pernah menentang hubunganku dengan seorang katolik di masa lalu. Aku tidak peduli. Apa aku harus menjadi bodoh untuk kedua kalinya, mengorbankan cinta mereka. Terlalu picik bagiku untuk melihat Tuhan itu berbeda beda. Agama itu kebenaran. Kebenaran itulah agama yang sesungguhnya. Siapa menjalankan kebenaran maka dia menjalankan agama. Dan aku memenangkan anakku.

Lalu aku dan anakku sibuk menyiapkan beberapa hal termasuk makanan untuk menyambut lamaran calon besanku. Di sebuah mall , ketika kami sedang berbelanja, Rani bertemu dengan Beni. Mereka berbincang bincang dan aku meminta ijin mereka untuk pergi ke toilet. Saat kembali, aku tidak melihat hanya mereka berdua, tapi bertiga dengan seorang lelaki separuh baya, seumuran denganku, mungkin ayah Beni. Semakin mendekat, aku seperti mengenal sosok lelaki itu. Dan langkahku terhenti, aku terdiam di tempat, di balik sebuah pajangan aku mengamati lelaki itu. Wajahnya tak asing lagi. Masih sama seperti dulu saat aku mengenalnya ketika kuliah . Dadaku berdebar kencang. Nafasku tersengal sengal seperti habis berlari berkilo kilometer jauhnya. Aku masih diam mengamati, mencoba meyakinkan hatiku, bahwa itu lelaki yang pernah menghias hatiku dulu bertahun tahun lamanya.

Rambutnya ikal diikat di belakang leher. Kumisnya, jambangnya, dan senyumnya. Senyumnya itu yang mungkin tak bisa aku lupakan seumur  hidupku. Dan tatapan matanya. Tapi saat itu aku tak bisa melihat matanya, dia sedang berbicara dengan Beni dan Rani. Lalu kulihat dia memegang tangan Rani yang memakai gelang pemberianku sejak SMP.  Ya benar… dia mengamati gelang itu. Ya Tuhan… apakah dia? Sebuah bayangan hitam menyeruak di kepalaku, membuat mataku berkunang kunang dan aku jatuh tak sadarkan diri.

Aku tersadar sedang berada dalam kamar sebuah rumah sakit. Rani sedang berdiri di sebelahku. “Mama.. mama sudah sadar ?” Rani memegang tanganku, “Mama kenapa ma ? kenapa bisa tiba tiba pingsan ?”

“Mama tidak apa apa Nak, mungkin hanya sedikit kurang istirahat”

“Maafkan Rani ma. Mama capek ngurusin pernikahan Rani”

“Jelek.. kenapa bicara begitu” teringat peristiwa di mall, kata kataku mengambang, dan wajahku mungkin memucat

“Ma.. mama kenapa lagi..kok wajah mama pucat ?”

Engkau tidak tahu nak , apa yang akan terjadi padamu. Semoga saja dugaanku salah. maafkan aku anakku, aku selalu berdoa untukmu, agar engkau tidak menanggung sakit akibat perbuatan kami.

“Mama tidak apa apa Nak” aku meraba gelang yang dipakai anakku.

“Tadi ayah Beni tanya ma, gelang ini siapa yang kasi, aku bilang ini gelang papa, sepertinya beliau tertarik sekali ya”

Tentu saja , gelang itu adalah gelang pemberiannya. Aku teringat bagaimana dulu dia memberikan gelang itu padaku. Tanggal 16 Pebruari, saat dia akan pulang ke kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur. Kami bertemu terakhir kalinya di pantai Sanur.

“Pakailah ini. Gelang ini adalah perhiasan untuk wanita- wanita suku kami, suku Lamaholot. Terbuat dari besi putih” katanya sembari memakaikan sebuah gelang di tanganku. “Gelang ini yang mengikat hati kita. Kita akan bertemu kembali. Pasti. Aku akan menjemputmu dan melamarmu untuk menjadi istriku. Aku janji “ 

Saat itu aku tidak kuasa mengatakan apa apa. Hatiku sedih skali. Aku takut dia tidak kembali. Kupang bagiku terasa di belahan bumi yang lain. Seperti hatiku yang terasa patah jadi dua. Sekalipun dia berjanji menjemputku, tetap saja, hatiku tidak rela dia pergi. Aku hanya berjanji, gelang itu tidak akan lepas dar tanganku sampai aku mati.

Hubungan kami bukanlah sebentar. Sejak kuliah semester tiga sampai kini, tiga bulan setelah wisuda. Sebenarnya dia sudah punya pekerjaan di Denpasar ini, yang sudah ditekuni sejak masih kuliah. Dia menulis di sebuah harian terbesar di kota ini, tapi ayahnya sakit, dia harus pulang karena dia anak lelaki sulung.

Malam itu dia menciumku, lebih mesra, lebih hangat dari biasanya. Terdorong oleh rasa cinta, perpisahan dan hasrat memberikan sesuatu yang berharga untuk orang yang dicintai, kami terhanyut melakukan perbuatan terlarang, di tengah deburan ombak pantai Sanur.

“Tante sudah sadar ? “ Beni masuk mendekati kami, membuyarkan kenanganku.  Mataku mencari sosok lelaki bersamanya di mall tadi. Seolah menangkap keresahanku, Beni berkata, “Bapa sudah pulang duluan, beliau titip salam sama tante, dan minta maaf tidak menunggu tante sampai siuman. Beliau terburu, ada janji dengan kawannya”

Lama aku terdiam, hatiku bergejolak, bukan lagi ketakutan akan hidup sendiri dalam sepi seperti selama ini menjelang pernikahan anakku, tapi sesuatu yang bersebrangan, yang jauh lebih menakutkan, seperti awan hitam yang siap runtuh tepat di atas kepalaku. Awan hitam sebentuk masa lalu.  

Aku tahu, dia tidak akan berusaha untuk langsung menemuiku dan bicara denganku. Itu bukan dia. Aku tahu dia akan menunggu berhari hari untuk bertemu dan berbicara denganku seperti biasa dia lakukan dulu kalau kami sedang bermasalah. Dan itu akan menjadi penantian yang teramat panjang bagiku. Menunggunya berbicara.

Setelah beberapa saat lamanya aku diperbolehkan pulang dengan catatan harus beristirahat di rumah. Rani mengurus pernikahannya sendiri. Aku tidak konsentrasi lagi. Aku takut semua akan sia sia dan meninggalkan jejak yang disebut sakit hati. Aku takut, ketakutan yang seperti hantu menguntit diriku siang dan malam.

Tiga hari setelah pulang dari rumah sakit, Rani membangunkan aku dari tidur. “ Ma… ada telepon dari Om Varis,  ayahnya Beni, katanya mau bicara dengan mama, mungkin tentang pernikahan Ma” katanya  sambil tersenyum. Tak dapat kupungkiri ada nada bahagia dalam suaranya.

Ayah Beni ? lelaki itu ? Benar bukan ? Dia akhirnya datang dan berbicara. Tuhan… apakah ini saatnya awan hitam runtuh di atas kepalaku dan menenggalamkan aku serta kebahagian anakku ? Tuhan… begitu aku menyebut dalam hati sembari beranjak pelan mengambil gagang telpon dan seseorang yang masih menungguku di seberang.

“Selamat malam” suara berat terdengar dari seberang menyambut salamku yang begitu pelan.

“mamanya Maharani ?”

“Ya saya sendiri ?” suaraku hampir menyerupai desah.

“Paramahita ? “ suara di seberang berubah familiar, menyebut namaku dengan lengkap , ”masih ingat saya kan ?”

Aku berusaha keras, agar kakiku tetap kuat berdiri menopang tubuhku yang sudah terasa mengambang, limbung. Rani masih berdiri di sebelahku. Rupanya dia penasaran ingin tahu apa yang akan di bicarakan calon mertuanya. Dan karenanya juga aku masih bisa bertahan. Betapa aku bersusah payah mengatur suaraku agar tidak terdengar aneh di telinganya.

“ya bagaimana ? “ tanyaku datar

“engkau tidak mengingatku lagi ?” suara di seberang terdengar parau

“ya saya ingat. Bagaimana ?”

“bisakah kita bertemu untuk membicarakan hal itu ?” suara yang begitu sopan, begitu memabukkan. Betapa aku merindukannya sampai aku tak punya harapan lagi. Hanya gelang itu, gelang pemberiannya yang menemaniku dengan setia. Air mataku hampir menetes mendengarnya. Beruntung di ruang itu lampu sudah dipadamkan, sehingga Rani tidak melihat perubahan di wajahku, di wajah mamanya yang sudah separuh baya.

Setelah menenangkan hati aku mencoba menjawab dengan nada datar. “ ya bisa” lalu dia menyebut sebuah tempat yang akan menjadi pertemuan kami. Dan tempat itu adalah tempat biasa kami bertemu dulu.

Aku letakkan gagang telepon dengan hati yang kacau balau. Kupandangi anakku, yang sedang menunggu pembicaraan kami. Aku tersenyum padanya,”tenanglah, dan sabar, kami sedang mengurus kebahagianmu”, kataku, atau mungkin menghancurkannya, lanjutku dalam hati.

Di depanku, duduk seorang lelaki yang tengah menatapku hampir tak berkedip. Sedangkan aku, aku berusaha mengalihkan wajahku dari pandangan matanya yang teduh itu.  CafĂ© tempat kami bertemu, masih sepi. Tempat duduk yang dipilihnyapun, adalah tempat biasa kami sering makan. Di pojok kanan pintu masuk.

Tepat pukul sepuluh pagi, aku merasakan hangat tangannya menyalami tanganku yang dingin. Dia mempersilakan aku duduk dan memesan segelas jus alpukat, untukku. Dia tidak bertanya, seolah ingin mengatakan padaku bahwa dia masih ingat betul apa minuman yang aku suka.

Kami terdiam beberapa saat lamanya, lalu dia bertanya,”lama tidak bertemu, apa kabarmu ?”

“aku baik” begitu canggung rasanya. Setelah sekian lama duduk berdua dengannya. Dia masih seperti dulu. Semuanya, hanya wajahnya yang terlihat lebih dewasa. Hampir dua puluh lima tahun lalu aku melihatnya terakhir kali. Tapi waktu yang demikian lama tak mampu juga mengikis rasa cintaku padanya. Aku bukan seorang perempuan yang tidak laku, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang selalu menarikku untuk dekat dengannya kendatipun kami telah terpisah puluhan tahun, namun aku tahu di matanya itu, dia masih mengingatku dan seluruh kenangan kami.

Dia menarik nafas panjang sebelum bertanya lagi “ Maharani, dia anakku bukan ?” Tatapan matanya itu. Menohok tepat di jantungku. Aku melihat kesedihan yang dalam pada mata itu. Aku tidak tahan melihatnya.

“Katakan Mita, dia anakku kan ?” sekali lagi dia bertanya, pelan tapi tegas.  Aku mengangguk. Apa lagi yang harus aku tutupi. Dia tahu Maharani anaknya. Aku memberinya kabar setelah dia pergi bahwa aku tengah mengandung anaknya.

Saat itu, dengan gembira dia datang menemuiku, seperti janjinya. Dia lelaki yang bertanggung jawab. Kami sepakat untuk menghadap ayahku, dan dia melamarku. Tapi sayang, dengan angkuhnya ayah menolak lamarannya, sekalipun sudah kukatakan aku sudah mengandung anak Varis.

“Apa kata keluarga besar kita nanti. Kita orang terpandang. Leluhur kita pemuka agama,pemangku di pura Kayangan Tiga. Kamu mau bikin malu ayahmu ini ?” teriak ayahku, seolah langit rumah kami akan runtuh karenanya.

Dengan alasan berbeda keyakinan, ayah mengurungku , menyita alat komunikasiku, hape, laptop dan semua yang bisa menghubungkan aku dengan Varis.  Kami kehilangan kontak. Ayah mengurungku seperti tahanan. Tidak ada ijin untuk keluar rumah. Kalaupun terpaksa, aku harus dikawal.

Karena perutku semakin membesar, dan itu bisa memberi aib keluarga, maka dicarikannya seorang lelaki yang bersedia menikahiku, sekalipun aku berontak dan tidak terima. Beruntung, suamiku benar benar seorang yang baik, lahir batin dia menerima aku, mengasihi aku dan anakku seperti anaknya sendiri.

“Dia manis sepertimu,” katanya beberapa saat kemudian setelah melihat aku mengangguk mengiyakan, dengan senyum dikulum.

Aku tersenyum kecut. Dan menarik nafas panjang. Kata kata itu sudah lewat bertahun lalu. Saat ini, saat usiaku sudah separuh baya, kata seperti itu hanya seperti penggaruk hatiku dan membuatku menertawakan diriku sendiri.

“ Dan sampai sekarang setelah usiamu kepala lima , engkau juga masih manis” katanya lagi dengan nada menggoda, persis seperti sering dilakukannya dulu. Ah… masih pentingkah itu bagi kami. Bukankah itu sudah berlalu sekian tahun. Sekalipun tidak mematikan rassa cinta, tapi usia sudah semakin tua, tak pantas memikirkan diri sendiri lagi.

“ kenapa engkau masih bisa bergurau di saat seperti ini ?” tanyaku kesal.

“kenapa maka ?” pertanyaan khas terlontar dari mulutnya, “apa aku tidak boleh memuji calon istriku ?”

Aduh.. keterlaluan. “ Engkau tahu ini bukan waktu kita bersenang senang seperti dulu. Semua kesalahan kita dulu kini membawa petaka pada anak kita. Mereka sedarah. Mereka tidak bisa menikah, dan engkau tahu apa yang akan terjadi. Sakit hati, luka..!” kataku sambil menahan suara agar tidak terdengar pengunjung lain. Yang ada dalam pikiranku hanya bagaimana perassaan Rani kalau tahu calon suaminya adalah saudara tirinya.

”Dan ini semua kesalahan kita, kenapa mereka yang harus menanggungnya ?” Aku mulai menangis. Semua keresahanku akhir akhir ini, tumpah ruah menjadi air mata yang mengalir tanpa henti. Mengapa anakku yang harus menanggung kesalahanku. Aku menyesal, mengapa dia harus bertemu dengan Beni, kenapa bukan dengan orang lain. Apakah ini berarti Tuhan sedang menghukumku ?

“Sayang ? tenanglah.. kenapa engkau selalu tidak sabar dari dulu sampai sekarang ?” tanyanya sambil memegang tanganku.

“Aku harus sabar bagaimana, jika mereka menderita semua itu karena kesalahan kita dimasa lalu bagaimana aku harus membayarnya.” ujarku sesenggukan. Varis terlihat tenang.

“Kita tidak harus membayar apapun. Dan mereka akan bahagia selamanya” Varis , berkata dengan tenang. Aku heran. Benar, dia orang paling sabar yang pernah aku kenal. Tapi dalam keadaan seperti ini, semua menjadi aneh.

Dia mengusap air mataku dan berkata,” hapus air matamu, lihat aku. Aku mencintaimu, dulu dan juga sekarang. Aku berjanji, akan membahagiakanmu, dan anak anak kita.”

Aku menatapnya dan melihat kesungguhan dalam ucapannya, “lalu ?”

“ Dengar baik baik, calon istriku,” katanya sambil tersenyum, tapi aku tidak menanggapi kata katanya, aku lebih menunggu kelanjutan ucapannya,”mereka tidak sedarah, Beni anak angkatku, bukan anak kandungku”

“apa ?” setengah berteriak, aku berseru .

“sstttt… jangan teriak teriak, orang orang melihat ke arah kita, dikiranya aku sedang memaksamu, heheeee…”

“ aduh.. sudah kakek kakek juga, masih saja genit”

“tapi masih pantas untuk menjadi suamimu kan ? Dan kita akan mengurus dua pernikahan sekaligus. Kau percaya gelang itu yang sudah mempertemukan kita bukan ? Kau sudah melakukan hal yang benar tanpa sadari” Aku mengernyitkan alis tanda tidak mengerti

“gelang itu memang sudah seharusnya diwariskan dari ibu kepada anak perempuannya, dan engkau tidak berkewajiban lagi memakainya sampai mati seperti janjimu dulu”

Ya Tuhan.. aku begitu lega. Tidak pernah merasa selega ini. “jelek..memangnya siapa yang mau menikah denganmu?” tanyaku merengut.

“aku tidak bertanya, tapi matamu sudah menjawab mau.”

Aku tersipu, tentu saja aku mau, karena engkaulah belahan hatiku yang kini menyatu. Gelang itu memang mengikat hati kita dan kini sudah membawamu kembali .



denpasar, harinyepi, 31 maret 2013

widyastuti