Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Jumat, 07 November 2014

LIN.. AKU KANGEN

Gus beringsut pelan dari tidurnya. Takut perempuan yang pulas di sampingnya terbangun karenanya. Jam dinding di ruang tamu telah beberapa lamanya berdentang duabelas kali.
Terdengar dalam ruangan seperti palu yang menghantam hantam jantungnya atau semua penghuni rumah ini juga. Entahlah. Selalu terasa suara jam itu begitu keras untuknya sehingga selalu ia terbangun karenanya. Berbanding terbalik dengan suara ibunya yang begitu lembut saat membangunkan dirinya.
Ibu, ah… Gus teringat perempuan tua yang telah melahirkannya itu. Rambutnya yang putih seolah menjadi saksi berapa lama ia memasung egonya untuk anak semata wayangnya itu. Keriput di tangannya bercerita tentang kerasnya hidup yang sudah dijalaninya. Ah.. ibu.. berapa lama Gus tak mengunjungi makamnya.
Berbulan bulan sejak ia tinggalkan kota kelahirannya untuk tinggal di rumah yang membuatnya merasa kosong. Ia teringat kota kelahirannya. Setiap pagi di hari minggu, ia akan bercengkrama di pasar burung, dengan beberapa pedagang yang dikenalnya. Hampir tiap malam dia menghabiskan waktu di taman kota sambil melukis atau sekedar ngobrol dengan rekan rekannya. Gus rindu.
Gus menghela nafas. Diraihnya sebungkus kretek dari dalam laci meja di sebelah tempat tidurnya. Hanya ini yang tidak mampu diturutinya dari semua permintaan istrinya. Gus tidak boleh memakai pakaian sembarangan kalau keluar rumah, apalagi hanya memakai kaos doplang dan celana pendek seperti saat dia di rumahnya sendiri. Gus tidak boleh makan dengan tangan, harus memakai sendok. Makan harus bersama di meja makan, tidak boleh mendahului. Gus tidak boleh.. tidak boleh.. tidak boleh…. Ah…persetan dengan semua itu.
Disulutnya sebatang rokok, setelah mematikan AC. Lalu dibukanya jendela. Istrinya pasti akan marah kalau melihatnya merokok dalam kamar. Memberikannya merokok pun ia sudah demikian terpaksa. Gus tersenyum sinis. Menarik ujung bibirnya sendiri, menertawakan dirinya sendiri.
Istrinya beringsut menghadap ke samping. Matanya masih terpejam . Dia erat memeluk bantal. Pasti kelelahan setelah pendakian menuju puncak kenikmatan beberapa saat yang lalu. Suatu kebanggaan bagi naluri lelakinya apabila perempuan itu menjadi tak berdaya di bawah keperkasaanya.
Tak dipungkiri, perempuan yang dinikahinya setahun lalu itu, begitu cantik. Wajahnya tak bercela. Hidung mancung, muka bulat telur, mata yang sendu, alis seperti semut beriring, bibir yang merah merekah bagai tomat segar di pagi hari. Dan kulitnya putih dan licin seperti kaca, dimana lalat yang hinggap disana pasti akan terpeleset karenanya.
Cantik, itu bisik temanya waktu dia bercerita dirinya akan menikah karena menjadi lelaki pilihan perempuan itu.
“ Darimana kau tau dia cantik ?” tanyanya antusias. Bukan karena cantiknya tapi karena perempuan itu telah memilihnya menjadi calon suaminya. Bagaimanapun Gus ingin tau.
“Aku pernah melihatnya di mall beberapa bulan yang lalu. Seperti biasa dia dijaga pengawal bapaknya yang jendral itu. Apa kau belum tau ? ” kata temanya.
Gus mengerdikkan bahunya. Dia memang belum tau. Yang dia tau , kemarin , seorang lelaki berbadan tegap dan berpakaian serba hitam, datang ke rumahnya, dan memintanya bersiap siap untuk menikah dengan putri majikannya. “anak anda adalah lelaki pilihan anak majikan kami. Jika ibu berkenan saya akan menjemputnya beserta ibu dua hari lagi.” Katanya kepada ibu “silakan ibu bersiap siap” lanjutnya lagi.
Dengan memandang Gus cukup lama, ibunya mengangguk, tak peduli protes yang terpancar dari mata anaknya. Ya .. hanya dari mata, sebab ia belum cukup berani mengakui ada perempuan lain yang sering menunggu kedatangannya.
Tapi bagaimana ibunya bisa semudah itu percaya ? Semudah itu memberikannya pada lelaki yang entah dari mana asal muasalnya. Lalu menikahkannya dengan perempuan, entah bagaimana rupanya. “Ibu sudah tua mungkin sebentar lagi mati, sedangkan engkau belum juga memilih seorang perempuan untuk mengurusi hidupmu yang hampir tidak jelas itu. Jadi terima saja pinangannya.”
Katanya tegas dan tak terbantah kali ini. Mungkin sudah hilang sabar atas pertanyaannya bertahun tahun tentang perempuan yang akan menjaddi menantunya, tapi belum juga mendapat jawaban pasti. “tapi bu, aku..” suara Gus tercekat di kerongkongan. Ibunya menatap tajam. Harus bagaimana mengatakan pada ibu, aku sudah punya calon pendamping tapi dia masih istri orang ? Walaupun suaminya sdh tdk lagi peduli tapi mereka belum bercerai. Ah… bagaimana ibu akan mengerti. Lalu diputuskannya untuk diam.
Dan kemudian di sinilah ia tinggal, meninggalkan makam ibunya yang pergi menghadap kepada asal muasalnya, dengan senyum bahagia di kota kelahirannya. Ibu..bahagiakah kau disana melihat anakmu ini , hidup seperti ini ? Tak ada yang benar benar ingin dia lakukan. Setiap hari matanya hanya memandangi kanvas, dan tangannya mengoreskan cat minyak, yang entah sudah berapa banyak dihabiskannya. Tak ada hasil lukisannya yang dirasa memuaskan hatinya seperti dulu . Selalu ada yang kurang. Lukisannya kosong, tanpa jiwa.
Rokoknya hampir habis, dilihatnya istrinya menggeliat mengubah lagi posisi tidurnya. Fisik, tak ada yang kurang dengannya. Pun dalam hal pengetahuannya tentang hobi dan pekerjaannya sebagai pelukis. Dari pelukis luar negeri sampai yang tenar di dalam negeri, ia mampu menandingi pengetahuan Gus, yang diraihnya di sebuah universitas dengan tertatih tatih. Lalu pada sebuah pameran yang pernah diikutinya, disanalah istrinya mengenalnya dan mengaku jatuh cinta padanya.
Apa yang kurang , hingga setiap malam ia selalu merasa gelisah, dan akhir akhir ini, beberapa minggu ini, sejak sebuah sms masuk ke handphone nya dari sebuah nomor baru. Istrinya bertanya heran, kenapa sekarang ia sering melamun. Ayah mertuanya memandangnya aneh, juga ibu mertuanya, bahkan para pembantunya.
Kini, kerinduannya berujung pada satu titik. Bukan lagi ibunya, bukan lagi kota kelahirannya tapi pada perempuan bermata sayu itu. Yang suaranya tegas tapi lembut. Yang belaiannya pada rambutnya seperti ibunya sendiri. Lin, perempuan yang ditinggalkannya begitu saja. Ya, sms itu pasti darinya, nalurinya begitu yakin. Kalimatnya singkat, “Mas… apa kabarmu ? semoga engkau bahagia” berulangkali dibalasnya sms itu tapi tak ada jawaban lagi. Ah Lin.. Apa kabarnya sekarang ?
Gus merogoh bungkus kreteknya lagi, disulutnya, lalu dihisapnya dalam dalam. Tak bisa dipungkiri, hatinya kini sungguh merindukan perempuan itu. Teringat saat dengannya, duduk berdekatan di teras rumahnya, berjalan menyusuri pantai saat dini hari, saat berboncengan mengukur jalan jalan di kota kelahirannya itu, atau saat mendengar bisikan manja dan lenguhan tak berdaya perempuan bermata sayu itu. ‘Lin….aku merindukanmu’
Jam di ruang tamu berdentang dua kali. Sudah pukul dua. Ternyata sudah hampir dua jam dia duduk dalam remang remang kamar itu. Rokoknya masih tersisa setengah. Rasa kantuk menyerang matanya. Gus tertidur.
Dia terbangun karena suara ribut di sekitarnya. Suara istrinya, suara para pembantunya dan rasa panas di kakinya. “Mas bangun mas, bangun..” kata istrinya, “tuan bangun tuan, ada kebakaran..” jerit pembantunya. Mendengar itu dia melompat dan tersadar ujung piyamanya sudah terbakar. Rupanya rokok yang tinggal setengah itu jatuh di karpet dan menimbulkan nyala api.
“ Engkau hampir membakar rumah ini , Mas “ ujar istrinya dengan nada marah yang tertahan. “Maafkan aku, Sin, aku ketiduran”
“Bukankah sudah kukatakan aku tidak suka engkau merokok dalam kamar. Engkau tidak boleh…” Dan istrinya mulai mengeluarkan dalil dan aturan aturan yang sepanjang sejarah hidupnya sampai detik ini, tidak ia sukai.
“Cukup. Aku bosan dengan kata tidak boleh itu, aku bosan dengan aturanmu ” sergah Gus. Dia muak, setiap kali di hadapkan pada kata tidak boleh dari istrinya. Hak apa dia selalu melarang ini dan itu. Bukankah dia sudah tau, sifatnya memang bebas dan tidak suka aturan yang kaku dan mengikat, itu katanya sejak istrinya mengenal dia dan mempelajari kepribadiannya.
Memang dia menumpang tinggal di rumah mertuanya. Tapi itu bukan karena kemauannya, semata mata karena istrinya tidak mau tinggal di rumah suaminya, Gus. Memang dia bukan orang sekaya istrinya tapi dia masih punya penghasilan, setidaknya dengan menjual lukisan atau menjual jasa melukis orang di tempat- tempat wisata. Dan itu tidak membuatnya malu. Tapi istrinya malu. Tentu saja, dia anak jendral. ‘dan aku lelaki pilihan’ keluh Gus dalam hati.
Istrinya ternganga melihat Gus membentaknya. Tak pernah disangka. Selama ini Gus selalu menuruti apa maunya. Memang kecuali merokok itu, tapi itupun Gus minta dengan sangat manis dan hampir memohon mohon yang membuatnya memberinya ijin.
“Aku akan pulang. Aku minta maaf sudah membuat kerusakan dirumahmu. Secepatnya akan aku ganti. “ Kata Gus dengan segera menukar bajunya . Tekadnya bulat, ia akan pulang. Tidak peduli istrinya mau ikut atau tidak.
Beberapa hari sudah ia berada di rumah ibunya. Istrinya tidak juga datang menyusulnya. Ah sudahlah. Biarkan saja dia di istananya itu, katanya kesal. Tapi seiring dengan itu pula kerinduannya pada Lin kian besar. Sampai akhirnya dia dengan segala keberaniannya datang ke rumahnya. Dia masih disana. Tinggal sendiri. Menyambutnya dengan senyum yang sama seperti dulu, dengan mata yang lembut seperti dulu, “Mas… apa kabar ? Kapan pulang ?” tanyanya. Seolah tidak pernah ada waktu terbuang diantara mereka.
“Lin, …aku kangen”
Hanya itu, sebelum keduanya berpelukan dengan penuh kehangatan.

Minggu, 05 Oktober 2014

DINADIMU GADIS KECIL

Diantara jutaan manusia
aku menemukanmu
pada bilasan cahaya jingga
dan siluet senja di hamparan samudra
gadis kecil..
bermahkota dewa
berkalung cakrawala pantai Kuta
dan gemerincing gelang kaki
yang bernyanyi sepanjang beach walk
aku menemukanmu
dengan harum kenangan dan cempaka
dan asap kemenyan yang menembus alam nirwana
di nadimu, gadis kecil
aku tersungkur sujud
bukan hanya menyembah indah ragawi
tapi aku ..
memuja keindahan jiwa,
yang mengalir pada air suci
dan persembahan di altar para dewa
gadis kecil..
engkaulah surga
yang kutemukan diantara ribuan manusia
yang tetap berjalan,
dan menari dengan gemerincing
meski dikelilingi bahkan oleh jutaan manusia durhaka
yang terkadang …
menudingmu sebagai durjana

MAAF , KUPINJAM NAFASMU

maaf, kupinjam nafasmu
menemani mimpimu melewati awan
saban malam ia bercerita
tentang sependar cahaya

maaf , kupinjam nafasmu
melangkah melewati batu batu
tertatih ia dalam kisah yang bisu
mengeja hasrat yang sesekali bertamu

ah, si pandir itu
mengira diri sebagai bulan
yang dipuja setiap purnama
hingga hanyut oleh keharuman yang memabukkan

maka sekali lagi
biarlah kupinjam nafasmu
pada harapan yang penghabisan
barangkali di suatu malam nanti
cahaya menjelma sepasang sayap
yang membawaku padamu.

SUARA GADUH YANG LAIN

Diedarkannya pandangan ke seluruh kelas , melihat anak anak itu sedang asik mengerjakan soal yang diberikan. Seperti biasa ketika ia mengangkat kepalanya anak anak itu menutup mulutnya sejenak. Tapi begitu ia mulai menulis lagi, maka gumamam gumamam mulai terdengar . Sudah menjadi tradisi dimana mana kalau yang banyak itu sulit untuk diam.
“Emmmm….tolong..kerjakan soalnya sendiri nak” tegurnya untuk kesekian kali.
Anak anak terdiam, menoleh kearahnya, lalu kembali mengerjakan tugasnya. Anisa mulai menulis, administrasi ini banyak sekali, keluhnya dalam hati. Tidak cukupkah guru hanya mengajar saja tanpa membuat administrasi yang seabrek banyaknya. Tapi kata atassannya, kalau tidak membuat administrasi, bagaimana mereka tahu ibu sudah mengajar ?
ah.. benar juga ya. Maka pelan dengan sedikit enggan, terpaksa juga diselesaikannya administrasi yang dirasakannya bertele- tele dan memakan banyak waktu itu.
Riuh kembali terdengar dalam kelasnya. Ah..anak anak ini berbeda sekali dengan muridnya tahun lalu. Rasanya hampir bosan dia menegur, tapi mereka tetap dengan keributannya. Bahkan dalam mengerjakan soal sekalipun, mulutnya seperti lebah yang tidak henti berdengung. Untung saja kelasnya di pojok sekarang, karena sekolah sedang direnovasi, jadi tidak terlalu mengganggu kelas lain kalau Anisa marah karena tidak sabar menghadapi kelakuan mereka.
Kembali, dialihkannya pandangan dari buku ke seluruh kelas.
“Bu saya diganggu Luh De” kata Tania. Anak itu diduduk di meja nomor dua dekat jendela. Anisa bangun mendekat, “ada apa Tania ?” katanya lembut. “Luh de Bu, dia ganggu saya terus dari tadi,” adu Tania kembali. “ Benar Luh De ?” Anisa menatap Luh De tajam.
Maaf bu , saya hanya meminjam penghapusnya sekali Bu”
“Bohong , bukan hanya penghapus, tapi juga rautan pensil saya, trus buku saya, trus kotak pensil saya” sergah Tania. Ah.. anak anak , selalu kukuh dengan keyakinannya sendiri. Anak anak yang lain ikut menimpali, kelas riuh . Anisa mengambil kendali “Anak anak..kerjakan soal kalian kembali.” Katanya tegas. “ Dan kamu, Luh De, jangan lakukan itu lagi, sebaiknya siapkan diri dari rumah agar tidak menganggu temanmu”
Anisa kembali ke tempat duduknya di meja guru, di depan dekat pintu masuk. Kelas masih terdengar riuh, dia menoleh. Kenapa terdengar begitu gaduh, padahal anak anak itu terlihat mengerjakan soal dengan tekun sekarang. Anisa mengernyitkan dahi. Dia melongok keluar pintu. Hening. Sekolah sedang mengadakan tes tengah semester. Semua asik mengerjakan soal. Tidak ada anak bermain di halaman. Aneh. Terdengar ribut lagi. Suara anak- anak bermain dan tertawa bahkan ada suara bangku di ketuk ketuk, persis seperti kelas yang ditinggalkan gurunya. Sangat gaduh.
Anisa menggelengkan kepalanya, ah..mungkin ini hanya suara suara khayalannya saja karena anak anak sering ribut jadi selalu seperti terdengar di telinganya. Ditatapnya anak anak satu persatu, semakin asing perasaannya seolah berada di tempat yang baru, tempat yang tidak dia kenali sebelumnya. Ah..semakin keras digelengkan kepalanya. Hening. Suara suara itu tidak terdengar lagi. Benar saja, itu hanya suara khayalannya belaka.
Diliriknya jam tangan , hampir mendekati jam dua belas. Sebentar lagi bel pulang berbunyi. Dia bangkit berkeliling ke seluruh ruang kelas, memeriksa tiap pekerjaan anak anak itu apakah sudah selesai atau belum. Tiba tiba Tania menangis tersedu. “ Tania ada apa lagi ? “ Tanya Anisa sambil mendekati anak itu . Pekerjaannya terlihat sudah selesai. Suara gaduh kembali. Tangis Tania semakin keras.
Anisa berusaha membujuk tapi anak itu tidak berhenti menangis juga. Bel sudah berbunyi. Soal soal dikumpulkan, anak anak pulang, tapi Tania masih menangis. Akhirnya Anisa menyerah, dia menelpon orang tua Tania agar segera datang menjemputnya.
Keesokan harinya dan seterusnya selama beberapa hari, Tania masih sering menangis, bahkan sekarang tidak mau ditinggal ibunya. Dia minta ditunggui. Kenapa ? Pikirannya sebagai guru merasa gagal. Anak itu tidak nyaman di kelasnya sendiri. Tapi kenapa baru sekarang setelah beberapa bulan di sekolah ini. Dan dia juga merasa aneh. Seringkali di kelas ini terdengar begitu gaduh, gaduh yang tidak biasanya. Padahal anak anak dalam kelas itu tidak banyak yang berbicara, tapi kegaduhannya melebihi pasar.
Pikirannya terganggu. Konsentrasinya hilang. Tak jarang Anisa menggebrak meja karena ingin mendiamkan kegaduhan itu. Dan anak anak ketakutan. Pikirannya semakin kacau. Suara gaduh masih sering terdengar. Entah apa yang salah dalam dirinya. Mungkin dia harus memeriksakan telinganya sendiri, barangkali ada yang salah dengan pendengarannya.
“Banyak anak anak disini” kata Mbah Kun, seorang paranormal yang sengaja didatangkan orang tua Tania, yang bingung dengan putrinya itu.
“ tentu saja Mbah, ini sekolah” kata Anisa. “kelas ini saja anak anak ada empat puluh orang” lanjutnya.
“bukan..!” sahut Mbah Kun tegas “ bukan anak anak biasa tapi tidak kelihatan bu”
Anisa merinding, jadi apa yang didengarnya selama ini bukan khayalannya semata . Jadi bukan telinganya yang bermasalah ?
“disini sering terdengar suara gaduh bukan ? padahal anak anak belajar dengan tenang” mata Mbah Kun menerawang. “entah apa yang terjadi dulu disini, tapi di tempat ini, di sekolah ini, banyak anak anak lain . Seperti halnya anak anak, ada yang baik ada yang pendiam, ada yang suka ribut ada juga yang nakal. Dan yang nakal itulah yang mengganggu anak itu ” Pastilah maksudnya Tania.
“lalu bagaimana Mbah ?” Tanya Anisa. Bulu kuduknya tidak berhenti meremang. Kelas ini memang terletak di pojok . Bukan suatu kebetulan, kalau kelas di pojok sering diidentikkan dengan hal gaib. Seringkali dalam sinetron atau film, hal angker pasti terjadi di pojok. Entah itu pojok sekolah, atau pojok kelas.
“ mereka juga ciptaan Tuhan, mereka punya hak yang sama juga seperti kita.” Cukup sediakan satu atau permen di pojok meja Ibu tiap hari, dan mintalah agar mereka tidak mengganggu anak anak lagi “ jelas Mbah Kun
Sejak itu, setiap hari Anisa selalu menaruh beberapa permen dalam kotak kecil di pojok mejanya, serta sebuah sesajen yang disebut segehan yang terbuat dari nasi putih yang ditaruh diatas alas janur berbentuk segitiga. Dan meminta agar anak anak kecil yang lain itu tidak mengganggu muridnya lagi.
Tania sudah tenang kembali. Tidak lagi minta ditunggui ibunya. Tapi suara suara gaduh masih sering terdengar tanpa sebab. Muridnya tenang. Kadang dia merasa berada di tempat yang berbeda , bukan di kelasnya sendiri. Tapi hanya sebentar, beberapa menit dan kemudian kembali seperti biasa. Anisa membiasakan diri. Mengajar seperti biasa. Mau tidak mau , suka tidak suka, mereka ada, anak anak lain itu ada, dan mempunyai hak yang sama.
Entah apa yang mereka lakukan, mungkin bermain, atau menulis seperti murid muridnya. Dipejamkannya mata.. Setidaknya dia tidak akan memukul meja lagi mendengar kegaduhan itu. Setidaknya anak anak muridnya bisa belajar dengan tenang.
Mereka anak anak lain itu juga, mereka berhak bermain, mereka berhak juga di tempat ini. Ada batas antara dunia nyata dengan dunia gaib. Ada batas antara Anisa dan muridnya dengan anak anak lain itu. Dan diantara batas itu mesti ada saling pengertian. Karena semua memiliki dunianya sendiri.

WIDYASTUTI

Jumat, 16 Mei 2014

NYANYIAN PELANGI

“lumpuhkanlah ingatanku , hapuskan tentang dia , hapuskan memoriku tentangnya
hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia, kuingin kulupakannya”

Hujan sudah berhenti, tapi kabut mulai melayang diantara daun pinus dan cemara senja itu. Barisan bukit yang mengelilingi danau Batur, tak lagi terlihat jelas. Kabut mulai menghalangi pandangan. Serupa awan putih yang melayang layang , tepat di atas air danau yang tenang. Langit yang biasanya biru cerah, gelap. Angin dingin berdesir terasa mengiris kulitku.

Kurapatkan syal di leher, dengan sebuah switer yang tidak terlalu tebal, membuat dingin masuk menyapa kulitku. Hanya sebentar, kataku pada diri sendiri. Hatiku mencoba memberi pembelaan terhadap pikiran yang melarangku untuk duduk di teras saat cuaca sedingin ini.

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memahami, bahwa aku begitu betah dengan tempat ini. Danaunya, bukit bukit yang menghijau di kejauhan, langitnya yang biru, kebun-kebun petani bawang dan sayuran yang hampir merata menghias sepanjang bibir danau. Dan kenangan itu. Ya kenangan bersamamu di sini. Ah…sekali lagi aku mengeja nama itu. Nama yang tak pernah lekang dalam benakku. Pram..

Kukibaskan kepala, menolak segala bayangan yang datang, selalu setiap kali kabut jatuh di senja hari. Ah….  Dengan pelan aku menjangkau secangkir kopi di atas meja kayu, mencoba menghalau dingin dan juga seraut wajah yang tersenyum dalam ingatanku. Sekuat tenagaku menolak sekuat itu pula dia hadir memaksaku mengingat semua tentang dia. “wid… sebaiknya engkau biarkan bayangannya datang dalam ingatanmu. Semakin engkau menolaknya maka semakin dalam dia akan memaksamu” seruan dari dalam hatiku.

Sesungguhnya aku tak ingin kembali ke tempat ini , tapi kesehatanku, memaksaku untuk berada disini dalam jangka waktu yang lama. “Udara kota tidak baik bagi paru-parumu. Sebaiknya engkau tinggal di villa lagi, di Kintamani” kata Rudi, kakak yang sekaligus juga dokter yang merawatku sejak aku dinyatakan terkena paru paru basah. Ah…bukan aku tidak suka, tapi aku ingin melupakan semua kenangan bersamanya, semuanya yang begitu indah tapi menyakitkan .

Dan setiap senja dengan kabut yang mulai turun, wajahnya pasti akan hadir kembali. Dulu, dia bukan sekadar memalingkan duniaku, tapi sekaligus juga menjungkirbalikkannya berbulan-bulan. Dia  memenuhi penuh ruang imajinasiku tentang keindahan cinta. Secara total aku telah lumpuh dari segala rasa, selain rasa cintaku kepadanya. Aku kehilangan kemampuan untuk mencinta, selain kepada dirinya.  

Enam bulan bagiku seolah telah mengenalnya bertahun tahun. Cinta kita bukan semata mata apa yang terlihat, senyum, tubuh, ataupun kata, tapi hati. “Mencintalah dengan hati” katamu waktu itu, saat kita mulai mengerti bahwa aku membutuhkannya dan dia membutuhkan aku. Hampir setiap lekuk dari tempat ini adalah dirinya. Tepi danau , diatas perahu, jalan setapak ke kebun sayur, batuan yang bertebaran di pinggir jalan besar menuju kota, daun daun cemara, pucuk pucuk pinus, awan putih, langit biru, air yang tenang, semuanya adalah dirinya.  

Air mataku menetes kembali, bagaimana aku melupakannya , jika setiap yang kulihat mengingatkanku padanya.  “jangan menangis ya.. “ lalu dia menarik tanganku mengajakku berdiri di depan kaca, “tu liat..wajahmu jelek sekali kalau menangis” katanya menunjuk wajahku yang sembab. “kamu jahat..” kataku, sambil memukuli pundaknya. Dia memang sangat suka menggodaku. Sepagi itu aku menelponnya seperti biasa tapi dia tidak mengangkat telponnya. Aku telpon berkali kali, belum diangkat juga. Hatiku mulai cemas. Ada apa. Lalu datang sebuah sms yang berbunyi ‘maafkan aku, aku sudah pulang ke Jawa’.  Deg….Tiba tiba hatiku sakit. Sakit sekali. Aku menangis. Aku jawab sms nya dengan ucapan berkali kali , kenapa pergi tanpa pamit, kenapa tinggalin aku “ Tapi tiba tiba dia nongol di depan mataku sambil tertawa. Kontan saja aku marah semarah marahnya memukulinya bertubi tubi, tapi dia menangkis pukulanku hanya dengan tertawa. Ah… ternyata dia hanya menggodaku. Kenangan itu selalu membuatku tersenyum sendiri.  

Aku mulai berpikir , barangkali takdir memang harus mempertemukan aku dengan dia. Dia hidupku, aku merasa tidak bisa hidup tanpa dirinya. Perhatian dan kasih sayangnya membuatku bangkit . Aku yang sudah tak punya harapan untuk hidup lagi karena penyakit yang kuderita, pelan pelan tapi pasti mulai merasa bahwa ternyata hidup masih berpihak padaku.

“Ayo kita jalan … “ suatu kali dia menarik tanganku. “Ah.. tidak mau.” Aku menolak ajakannya. “Ayolah… please…” katanya memohon seperti biasa. Matanya yang memang sayu di buat semakin memelas, mimiknya seperti anak yang merengek meminta mainan dari ibunya. Ah…kebiasaan, senyumku dalam hati. Tapi aku masih menampakkan wajah tidak mau. Aku selalu ingin melihatnya merengek manja seperti biasa. “Ayolah sayang… aku ingin mengajakmu ke suatu tempat” rengeknya lagi. “udara sedingin ini, memang mau kemana ? lebih baik kubuatkan kopi untukmu, oke ‘’ kataku. “ahhh…nggak mauuuuuu” gemes aku melihat wajahnya yang dibuat seperti anak TK itu. Akhirnya aku menuruti keinginannya. Selalu, dia mengandalkan wajahnya yang memelas dan matanya yang sayu itu.  

Kami berjalan di seputar danau. Ngobrol tentang apa saja. Tentang burung yang kebetulan melintas di langit sore itu, tentang gunung yang selalu terlihat indah, tentang jalan yang berliku liku, tentang air, bahkan tentang bintang dan pelangi. Ya.. pelangi. Saat itu kami bersitegang, dia suka bintang tapi aku bilang aku lebih suka pelangi. Dia menyukai bintang karena bersinar , menerangi malam. Tapi aku lebih suka pelangi karena pelangi indah, berwarna warni. “ Bintang itu bersinar, tidak pelit, semua mendapatkan sinarnya. Dia bersinar menerangi kegelapan” kata Pram. “ Ah…aku lebih suka pelangi. Pelangi itu indah. Menghibur dan semua orang suka dengan pelangi” kataku kesal. Aku tahu , aku akan selalu kalah berdebat dengannya. Dia selalu pintar memutar balikkan kata, membuatku tak bisa menjawab apapun lagi. Tapi kali ini dia diam. Dan setelah itu dia selalu memanggilku…pelangi jelekkkkk…dan aku merasa menang dan tertawa .  

Lagu dari Geisha, Lumpuhkanlah Ingatanku , terdengar dari radio yang sengaja kubiarkan hidup di ruang tengah. Sayup sayup liriknya menyadarkan aku. Itu Aku. Pelangi jelek sudah tidak ada lagi. Air mataku menetes melewati pipi. Dan laki laki itu, Pram, entah dimana dia sekarang. Aku sudah tidak mendengar kabarnya beberapa bulan ini. Dia pergi tanpa pesan apapun, sekalipun hanya sekedar sms. Hingga aku pulang ke Denpasar, mencari tahu dari teman teman yang pernah dia ceritakan padaku dulu, di kampusnya, di tempat kontrakannya, tapi dia pergi seolah ditelan bumi. Ada apa ? Dimana ? Pertanyaan itu tak terjawab hingga saat ini. Hingga aku kembali lagi ke tempat ini.

Berhari hari aku berharap, seandainya..ya.. senandainya saja. Saat aku duduk di beranda memandang danau di senja hari, berteman secangkir kopi dan sebuah buku, tiba tiba ada yang menepuk pundakku atau berteriak mamanggilku dari ujung jalan, “Pelangi jelekkkkkk…”  

Hp yang kutaruh di atas meja bergetar, sms masuk. Kuraih dengan pelan tapi penuh harap seperti biasa. kuharap kabar dari seseorang yang kini entah ada dimana. ” Maaf aku tidak bisa menemanimu lagi, jaga dirimu baik baik, aku pergi dan tidak akan kembali, maafkan aku, pelangi “ Kabut turun dengan cepat, kali ini semua gelap, bahkan pagar bambu di depan rumahpun tak terlihat lagi. Semua menghilang, kabur oleh kabut dan air mata yang jatuh tak terbendung lagi.

Denpasar, 10 Nopember 2013 , Selamat Hari Pahlawan

GELANG

Suara sepeda motor memasuki pekarangan. Aku segera menghentikan kegiatanku menjahit yang semenjak siang menyita perhatianku. Aku sedang membuatkan kebaya untuk anakku satu satunya. Kualihkan pandangan kearah halaman dari jendela yang terbuka. Seorang pemuda turun dari motornya. Rani, anakku keluar dari kamarnya.

“Siapa nak ?” tanyanya. “oh.. itu Beni ma, yang sering aku certain ke mama” lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Oh.. jadi itu Beni, yang sering dia cerita. Anakku cukup terbuka denganku soal teman temannya bahkan teman dekatnya. Dan Beni sudah cukup lama dekat dengan Rani, hanya saja, Beni bekerja di kota Singaraja, sedangkan kami tinggal di Denpasar, jadi mereka jarang ketemu. Kalau tidak salah mereka sudah kenal selama setahun. Ini kali pertama Beni datang ke rumah.

“Ayo masuk Ben, itu mamaku” Rani mengajak Beni masuk dan memperkenalkannya padaku. Wajahnya manis, khas orang timur, begitu biasa kami, orang Bali menyebut mereka yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Perawakannya juga bagus. Kulitnya sawo matang tapi bersih. 

“Selamat sore tante” sapanya dengan suara khas. Duh… hatiku terkesiap. Suara itu seperti suara yang sering menyapaku bertahun tahun lalu.

“Ya.. sore nak..” jawabku setelah berhasil kembali dari terkejutku.“Silakan duduk dulu Nak. Rani, suruh dong temennya duduk trus buatkan minum. Nak Beni mau minum apa ?” keramahan seperti biasa sebagai tuan rumah. Ternyata anakku sudah dewasa kini, dia sudah punya pacar, lalu..? ada tanya dalam hatiku, atau tepatnya sebuah ketakutan, ketakutan terhadap kesendirian.

Rani anakku satu satunya, tempat harapan kugantungkan. Kini dia sudah dewasa, kuliahnya bahkan hampir rampung. Tinggal menunggu wisuda. Seminggu yang lalu sudah yudisium dengan prestasi yang membuatku bangga, cum laude.  Dia sudah membuatku bahagia, sekarang, sudah waktunya bagi dia untuk membina masa depannya sendiri. Lalu aku ? aku akan duduk sendiri menunggu usia menua dan ajal menjemputku. Ah ketakutan yang kerap menghantui datang lagi.

“Apa saja Tante, air putih juga boleh, heheee…” jawab Beni berseloroh mengumpulkan kembali pikiranku yang tadi menerawang.

“Masa jauh jauh dari Singaraja, cuma disuguhin air putih,” jawabku sambil tersenyum.

Sementara Rani membuat minuman, aku menemani Beni di ruang tamu.

“Nak Beni sudah lama kerja di Singaraja ?” tanyaku

“Sudah hampir setahun Tante,”

“Kerja dimana ?”

“Saya wartawan Singaraja”

“Oh.. wartawan tv toh” degup jantungku bertambah cepat dari biasanya. Bukan karena usiaku yang sudah mendekati pensiun tapi ada sesuatu yang tiba tiba saja berkelebat di depan mataku setelah mendengar jawabanya. Begitu juga saat mata pemuda itu beradu pandang denganku. Mata yang teduh.

Untung Rani segera datang dan aku bisa segera menyingkir, membiarkan mereka berdua ngobrol dengan bebas.

Aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan. Punggungku agak terasa sakit mungkin karena seharian duduk menyelesaikan kebaya anakku Rani. Sejak kecil aku terbiasa membuatkan baju terutama kebaya sendiri untuk anakku itu. Selain karena hobi, aku merasa puas saat melihat tubuhnya yang ramping memakai hasil karyaku. Dengan rambut yang ikal mayang, hidung mancung , dia terlihat manis dengan kulit sedikit gelap. Dulu dia sering kesal dengan warna kulitnya itu. Saat jaman SMP, dimana teman sebayanya mendewakan kulit putih. Tapi kunasehati dia, bahwa apa yang diberikan Tuhan itulah yang terbaik, karena kukatakan dia mirip ayahnya. Dan untuk meyakinkan dia, serta menyenangkan hatinya, kuberikan dia sebuah gelang peninggalan ayahnya yang biasa kupakai. “ pakailah Nak, ini peninggalan ayahmu. Kemanapun engkau pergi, dia akan menemanimu.”

Rani tidak pernah mengenal ayahnya atau suamiku. Suamiku sudah meninggal saat dia masih kecil. Masih dalam gendongan. Kayun, suamiku adalah lelaki yang baik. Bahkan sangat baik. Mungkin karenanya ia cepat dipanggil Tuhan, seperti orang bilang. Dia menerimaku apa adanya. Tak peduli dengan keadaanku yang sedang hamil tiga bulan. Dia menganggap Rani sebagai anaknya sendiri. Dan tidak pernah berusaha untuk tahu siapa ayah Rani sebenarnya.

Setelah kami menikah, suamiku berhasil membeli sebuah rumah kecil, yang kini aku tempati. Usahanya sebagai seorang tukang jahit lumayan memberi keuntungan. Akupun membantunya bekerja sebagai tenaga honor di sebuah rumah sakit. Tapi sayang kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Suamiku meninggal kecelakaan saat pergi mencari bahan untuk pesanan pakaian. Nyawanya tidak tertolong. Semenjak itu aku kembali hidup berdua dengan Rani. Yang kupikirkan hanya membesarkan dia tanpa keinginan untuk menikah lagi

“Ma.. Beni mau pulang” suara Rani di depan pintu kamarku, mengejutkanku.

“Ya Nak, sebentar” aku bangun dari tempat tidur dan mendapati mereka berdua di ruang tamu.

“Kok buru buru sekali Nak ? apa harus kembali ke Singaraja hari ini ?”

“Saya kembali besok Tante. Saya akan menjemput Bapa di bandara. Beliau ada urusan di Bali”

“Oh.. begitu, ya sudah hati hati ya Nak..”

“Trimakasih Tante.. “ Beni berpamitan , Rani mengantar sampai di gerbang halaman rumah kami.

Aku memandang mereka dari jauh. Ada rasa bahagia tapi juga rasa sedih.

“gimana ma ?” tanya Rani setelah Beni berlalu

“gimana apanya ?” tanyaku pura pura tidak mengerti.

“Ah.. mama.. bagaimana menurut mama, Beni itu ?  Aku kan sudah sering cerita ke mama”

Aku tertawa kecil melihat wajahnya merengut manja, “ Kamu cinta ya sama dia ?”

“Aduh mama… ya lah.. kalau tidak cinta masa aku mau jadi pacarnya .. gimana ma ? serius ma.. bagaimana menurut mama ?”

“ehmmm…anak itu kelihatan baik. Pekerjaan juga ada.. Cuma..” ucapanku menggantung.

“Cuma apa ma ? karena dia beda keyakinan dengan  kita ? itu ma ? bukankah kita sudah pernah membahas ini sebelumnya ?”

Benar, sahutku dalam hati. Suka atau tidak , perbedaan keyakinan tetap menjadi sesuatu yang mengganjal dalam sebuah hubungan, bagaimanapun kita berusaha untuk menerima bahwa agama itu sama, sama sama menyembah Tuhan, tapi rasa tetap tidak sama.

“mama ? mama kenapa diam ? mama masih keberatan karena dia Katolik dan kita Hindu ?”

Aku menarik nafas panjang. Berat bagiku menjawab pertanyaan anakku. “Apa kamu yakin Nak? Apa kamu yakin dengan pilihanmu ? Benar mama selalu mengajarkan padamu semenjak kecil, bahwa kita hidup dalam kebhinekaan, dan bagi mama semua agama mengajarkan yang baik, karena itu bagi mama semua agama sama, walaupun menyembah Tuhan dengan nama yang berbeda. Mungkin bagi orang lain prinsip ini salah. “ 

“Lalu ..?”

“Tapi bagaimanapun, keyakinan memiliki konsekwensi adat dan budaya yang berbeda. Adat dan budaya kita berbeda dengan mereka, apa kamu siap Nak ? Karena seorang perempuan akan mengikuti agama suaminya setelah mereka menikah. Benar , ada yang tetap memilih pada keyakinannya masing masing. Tapi lebih baik untuk hanya ada satu nahkoda dalam satu perahu” aku menatap tepat di bola matanya. Mencoba mencari jawab tentang kesungguhan hatinya.

“mama… untuk apa aku kuliah dan mendapat predikat sangat memuaskan, kalau aku tidak bisa belajar untuk memahami hal itu ? Manusia selalu mampu beradaptasi kalau dia mau belajar ma.”

Dan sekali lagi perdebatan tentang keyakinan malam itu dimenangkan lagi olehnya. Akhirnya aku memang harus menyetujui hubungan mereka.  Aku mengakui, dia, anakku jauh lebih berani dari pada aku dulu saat seusia dia.  Dan sesuatu yang mengejutkan diungkapkan anakku, bahwa kedatangan ayah Beni adalah hendak melamar putriku satu satunya itu. Ya Tuhan apakah secepat itu aku harus kehilangan anakku ?

Seminggu setelah perbincangan itu, Beni melamar Rani dihadapanku dan memohon izin mengajak ayahnya datang secara resmi untuk membicarakan pernikahan mereka. Aku mengiyakan saja.  Aku mencoba menekan pikiran pikiran burukku sendiri tentang hidup dalam sepi yang panjang. Apalagi Rani selalu menyakinkan aku, bahwa dia tidak akan meninggalkanku sendirian. Dia akan bekerja di Denpasar begitu juga Beni, akan mohon untuk dipindah tugaskan di Denpasar sehingga mereka tetap bisa menjagaku. Hatiku terenyuh melihat mereka berdua begitu memperhatikan aku. Jadi ketakutan apa yang mesti aku pelihara lagi. Tidak ada. Selain menerima dengan sukacita pernikahan mereka.

Sekalipun beberapa keluarga menyatakan tidak setuju tapi aku berusaha memberi mereka pengertian. Dan bisik bisik terdengar dari kiri kanan, bagaimana aku telah melanggar nasehat dan pendirian almarhum ayahku, yang pernah menentang hubunganku dengan seorang katolik di masa lalu. Aku tidak peduli. Apa aku harus menjadi bodoh untuk kedua kalinya, mengorbankan cinta mereka. Terlalu picik bagiku untuk melihat Tuhan itu berbeda beda. Agama itu kebenaran. Kebenaran itulah agama yang sesungguhnya. Siapa menjalankan kebenaran maka dia menjalankan agama. Dan aku memenangkan anakku.

Lalu aku dan anakku sibuk menyiapkan beberapa hal termasuk makanan untuk menyambut lamaran calon besanku. Di sebuah mall , ketika kami sedang berbelanja, Rani bertemu dengan Beni. Mereka berbincang bincang dan aku meminta ijin mereka untuk pergi ke toilet. Saat kembali, aku tidak melihat hanya mereka berdua, tapi bertiga dengan seorang lelaki separuh baya, seumuran denganku, mungkin ayah Beni. Semakin mendekat, aku seperti mengenal sosok lelaki itu. Dan langkahku terhenti, aku terdiam di tempat, di balik sebuah pajangan aku mengamati lelaki itu. Wajahnya tak asing lagi. Masih sama seperti dulu saat aku mengenalnya ketika kuliah . Dadaku berdebar kencang. Nafasku tersengal sengal seperti habis berlari berkilo kilometer jauhnya. Aku masih diam mengamati, mencoba meyakinkan hatiku, bahwa itu lelaki yang pernah menghias hatiku dulu bertahun tahun lamanya.

Rambutnya ikal diikat di belakang leher. Kumisnya, jambangnya, dan senyumnya. Senyumnya itu yang mungkin tak bisa aku lupakan seumur  hidupku. Dan tatapan matanya. Tapi saat itu aku tak bisa melihat matanya, dia sedang berbicara dengan Beni dan Rani. Lalu kulihat dia memegang tangan Rani yang memakai gelang pemberianku sejak SMP.  Ya benar… dia mengamati gelang itu. Ya Tuhan… apakah dia? Sebuah bayangan hitam menyeruak di kepalaku, membuat mataku berkunang kunang dan aku jatuh tak sadarkan diri.

Aku tersadar sedang berada dalam kamar sebuah rumah sakit. Rani sedang berdiri di sebelahku. “Mama.. mama sudah sadar ?” Rani memegang tanganku, “Mama kenapa ma ? kenapa bisa tiba tiba pingsan ?”

“Mama tidak apa apa Nak, mungkin hanya sedikit kurang istirahat”

“Maafkan Rani ma. Mama capek ngurusin pernikahan Rani”

“Jelek.. kenapa bicara begitu” teringat peristiwa di mall, kata kataku mengambang, dan wajahku mungkin memucat

“Ma.. mama kenapa lagi..kok wajah mama pucat ?”

Engkau tidak tahu nak , apa yang akan terjadi padamu. Semoga saja dugaanku salah. maafkan aku anakku, aku selalu berdoa untukmu, agar engkau tidak menanggung sakit akibat perbuatan kami.

“Mama tidak apa apa Nak” aku meraba gelang yang dipakai anakku.

“Tadi ayah Beni tanya ma, gelang ini siapa yang kasi, aku bilang ini gelang papa, sepertinya beliau tertarik sekali ya”

Tentu saja , gelang itu adalah gelang pemberiannya. Aku teringat bagaimana dulu dia memberikan gelang itu padaku. Tanggal 16 Pebruari, saat dia akan pulang ke kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur. Kami bertemu terakhir kalinya di pantai Sanur.

“Pakailah ini. Gelang ini adalah perhiasan untuk wanita- wanita suku kami, suku Lamaholot. Terbuat dari besi putih” katanya sembari memakaikan sebuah gelang di tanganku. “Gelang ini yang mengikat hati kita. Kita akan bertemu kembali. Pasti. Aku akan menjemputmu dan melamarmu untuk menjadi istriku. Aku janji “ 

Saat itu aku tidak kuasa mengatakan apa apa. Hatiku sedih skali. Aku takut dia tidak kembali. Kupang bagiku terasa di belahan bumi yang lain. Seperti hatiku yang terasa patah jadi dua. Sekalipun dia berjanji menjemputku, tetap saja, hatiku tidak rela dia pergi. Aku hanya berjanji, gelang itu tidak akan lepas dar tanganku sampai aku mati.

Hubungan kami bukanlah sebentar. Sejak kuliah semester tiga sampai kini, tiga bulan setelah wisuda. Sebenarnya dia sudah punya pekerjaan di Denpasar ini, yang sudah ditekuni sejak masih kuliah. Dia menulis di sebuah harian terbesar di kota ini, tapi ayahnya sakit, dia harus pulang karena dia anak lelaki sulung.

Malam itu dia menciumku, lebih mesra, lebih hangat dari biasanya. Terdorong oleh rasa cinta, perpisahan dan hasrat memberikan sesuatu yang berharga untuk orang yang dicintai, kami terhanyut melakukan perbuatan terlarang, di tengah deburan ombak pantai Sanur.

“Tante sudah sadar ? “ Beni masuk mendekati kami, membuyarkan kenanganku.  Mataku mencari sosok lelaki bersamanya di mall tadi. Seolah menangkap keresahanku, Beni berkata, “Bapa sudah pulang duluan, beliau titip salam sama tante, dan minta maaf tidak menunggu tante sampai siuman. Beliau terburu, ada janji dengan kawannya”

Lama aku terdiam, hatiku bergejolak, bukan lagi ketakutan akan hidup sendiri dalam sepi seperti selama ini menjelang pernikahan anakku, tapi sesuatu yang bersebrangan, yang jauh lebih menakutkan, seperti awan hitam yang siap runtuh tepat di atas kepalaku. Awan hitam sebentuk masa lalu.  

Aku tahu, dia tidak akan berusaha untuk langsung menemuiku dan bicara denganku. Itu bukan dia. Aku tahu dia akan menunggu berhari hari untuk bertemu dan berbicara denganku seperti biasa dia lakukan dulu kalau kami sedang bermasalah. Dan itu akan menjadi penantian yang teramat panjang bagiku. Menunggunya berbicara.

Setelah beberapa saat lamanya aku diperbolehkan pulang dengan catatan harus beristirahat di rumah. Rani mengurus pernikahannya sendiri. Aku tidak konsentrasi lagi. Aku takut semua akan sia sia dan meninggalkan jejak yang disebut sakit hati. Aku takut, ketakutan yang seperti hantu menguntit diriku siang dan malam.

Tiga hari setelah pulang dari rumah sakit, Rani membangunkan aku dari tidur. “ Ma… ada telepon dari Om Varis,  ayahnya Beni, katanya mau bicara dengan mama, mungkin tentang pernikahan Ma” katanya  sambil tersenyum. Tak dapat kupungkiri ada nada bahagia dalam suaranya.

Ayah Beni ? lelaki itu ? Benar bukan ? Dia akhirnya datang dan berbicara. Tuhan… apakah ini saatnya awan hitam runtuh di atas kepalaku dan menenggalamkan aku serta kebahagian anakku ? Tuhan… begitu aku menyebut dalam hati sembari beranjak pelan mengambil gagang telpon dan seseorang yang masih menungguku di seberang.

“Selamat malam” suara berat terdengar dari seberang menyambut salamku yang begitu pelan.

“mamanya Maharani ?”

“Ya saya sendiri ?” suaraku hampir menyerupai desah.

“Paramahita ? “ suara di seberang berubah familiar, menyebut namaku dengan lengkap , ”masih ingat saya kan ?”

Aku berusaha keras, agar kakiku tetap kuat berdiri menopang tubuhku yang sudah terasa mengambang, limbung. Rani masih berdiri di sebelahku. Rupanya dia penasaran ingin tahu apa yang akan di bicarakan calon mertuanya. Dan karenanya juga aku masih bisa bertahan. Betapa aku bersusah payah mengatur suaraku agar tidak terdengar aneh di telinganya.

“ya bagaimana ? “ tanyaku datar

“engkau tidak mengingatku lagi ?” suara di seberang terdengar parau

“ya saya ingat. Bagaimana ?”

“bisakah kita bertemu untuk membicarakan hal itu ?” suara yang begitu sopan, begitu memabukkan. Betapa aku merindukannya sampai aku tak punya harapan lagi. Hanya gelang itu, gelang pemberiannya yang menemaniku dengan setia. Air mataku hampir menetes mendengarnya. Beruntung di ruang itu lampu sudah dipadamkan, sehingga Rani tidak melihat perubahan di wajahku, di wajah mamanya yang sudah separuh baya.

Setelah menenangkan hati aku mencoba menjawab dengan nada datar. “ ya bisa” lalu dia menyebut sebuah tempat yang akan menjadi pertemuan kami. Dan tempat itu adalah tempat biasa kami bertemu dulu.

Aku letakkan gagang telepon dengan hati yang kacau balau. Kupandangi anakku, yang sedang menunggu pembicaraan kami. Aku tersenyum padanya,”tenanglah, dan sabar, kami sedang mengurus kebahagianmu”, kataku, atau mungkin menghancurkannya, lanjutku dalam hati.

Di depanku, duduk seorang lelaki yang tengah menatapku hampir tak berkedip. Sedangkan aku, aku berusaha mengalihkan wajahku dari pandangan matanya yang teduh itu.  CafĂ© tempat kami bertemu, masih sepi. Tempat duduk yang dipilihnyapun, adalah tempat biasa kami sering makan. Di pojok kanan pintu masuk.

Tepat pukul sepuluh pagi, aku merasakan hangat tangannya menyalami tanganku yang dingin. Dia mempersilakan aku duduk dan memesan segelas jus alpukat, untukku. Dia tidak bertanya, seolah ingin mengatakan padaku bahwa dia masih ingat betul apa minuman yang aku suka.

Kami terdiam beberapa saat lamanya, lalu dia bertanya,”lama tidak bertemu, apa kabarmu ?”

“aku baik” begitu canggung rasanya. Setelah sekian lama duduk berdua dengannya. Dia masih seperti dulu. Semuanya, hanya wajahnya yang terlihat lebih dewasa. Hampir dua puluh lima tahun lalu aku melihatnya terakhir kali. Tapi waktu yang demikian lama tak mampu juga mengikis rasa cintaku padanya. Aku bukan seorang perempuan yang tidak laku, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang selalu menarikku untuk dekat dengannya kendatipun kami telah terpisah puluhan tahun, namun aku tahu di matanya itu, dia masih mengingatku dan seluruh kenangan kami.

Dia menarik nafas panjang sebelum bertanya lagi “ Maharani, dia anakku bukan ?” Tatapan matanya itu. Menohok tepat di jantungku. Aku melihat kesedihan yang dalam pada mata itu. Aku tidak tahan melihatnya.

“Katakan Mita, dia anakku kan ?” sekali lagi dia bertanya, pelan tapi tegas.  Aku mengangguk. Apa lagi yang harus aku tutupi. Dia tahu Maharani anaknya. Aku memberinya kabar setelah dia pergi bahwa aku tengah mengandung anaknya.

Saat itu, dengan gembira dia datang menemuiku, seperti janjinya. Dia lelaki yang bertanggung jawab. Kami sepakat untuk menghadap ayahku, dan dia melamarku. Tapi sayang, dengan angkuhnya ayah menolak lamarannya, sekalipun sudah kukatakan aku sudah mengandung anak Varis.

“Apa kata keluarga besar kita nanti. Kita orang terpandang. Leluhur kita pemuka agama,pemangku di pura Kayangan Tiga. Kamu mau bikin malu ayahmu ini ?” teriak ayahku, seolah langit rumah kami akan runtuh karenanya.

Dengan alasan berbeda keyakinan, ayah mengurungku , menyita alat komunikasiku, hape, laptop dan semua yang bisa menghubungkan aku dengan Varis.  Kami kehilangan kontak. Ayah mengurungku seperti tahanan. Tidak ada ijin untuk keluar rumah. Kalaupun terpaksa, aku harus dikawal.

Karena perutku semakin membesar, dan itu bisa memberi aib keluarga, maka dicarikannya seorang lelaki yang bersedia menikahiku, sekalipun aku berontak dan tidak terima. Beruntung, suamiku benar benar seorang yang baik, lahir batin dia menerima aku, mengasihi aku dan anakku seperti anaknya sendiri.

“Dia manis sepertimu,” katanya beberapa saat kemudian setelah melihat aku mengangguk mengiyakan, dengan senyum dikulum.

Aku tersenyum kecut. Dan menarik nafas panjang. Kata kata itu sudah lewat bertahun lalu. Saat ini, saat usiaku sudah separuh baya, kata seperti itu hanya seperti penggaruk hatiku dan membuatku menertawakan diriku sendiri.

“ Dan sampai sekarang setelah usiamu kepala lima , engkau juga masih manis” katanya lagi dengan nada menggoda, persis seperti sering dilakukannya dulu. Ah… masih pentingkah itu bagi kami. Bukankah itu sudah berlalu sekian tahun. Sekalipun tidak mematikan rassa cinta, tapi usia sudah semakin tua, tak pantas memikirkan diri sendiri lagi.

“ kenapa engkau masih bisa bergurau di saat seperti ini ?” tanyaku kesal.

“kenapa maka ?” pertanyaan khas terlontar dari mulutnya, “apa aku tidak boleh memuji calon istriku ?”

Aduh.. keterlaluan. “ Engkau tahu ini bukan waktu kita bersenang senang seperti dulu. Semua kesalahan kita dulu kini membawa petaka pada anak kita. Mereka sedarah. Mereka tidak bisa menikah, dan engkau tahu apa yang akan terjadi. Sakit hati, luka..!” kataku sambil menahan suara agar tidak terdengar pengunjung lain. Yang ada dalam pikiranku hanya bagaimana perassaan Rani kalau tahu calon suaminya adalah saudara tirinya.

”Dan ini semua kesalahan kita, kenapa mereka yang harus menanggungnya ?” Aku mulai menangis. Semua keresahanku akhir akhir ini, tumpah ruah menjadi air mata yang mengalir tanpa henti. Mengapa anakku yang harus menanggung kesalahanku. Aku menyesal, mengapa dia harus bertemu dengan Beni, kenapa bukan dengan orang lain. Apakah ini berarti Tuhan sedang menghukumku ?

“Sayang ? tenanglah.. kenapa engkau selalu tidak sabar dari dulu sampai sekarang ?” tanyanya sambil memegang tanganku.

“Aku harus sabar bagaimana, jika mereka menderita semua itu karena kesalahan kita dimasa lalu bagaimana aku harus membayarnya.” ujarku sesenggukan. Varis terlihat tenang.

“Kita tidak harus membayar apapun. Dan mereka akan bahagia selamanya” Varis , berkata dengan tenang. Aku heran. Benar, dia orang paling sabar yang pernah aku kenal. Tapi dalam keadaan seperti ini, semua menjadi aneh.

Dia mengusap air mataku dan berkata,” hapus air matamu, lihat aku. Aku mencintaimu, dulu dan juga sekarang. Aku berjanji, akan membahagiakanmu, dan anak anak kita.”

Aku menatapnya dan melihat kesungguhan dalam ucapannya, “lalu ?”

“ Dengar baik baik, calon istriku,” katanya sambil tersenyum, tapi aku tidak menanggapi kata katanya, aku lebih menunggu kelanjutan ucapannya,”mereka tidak sedarah, Beni anak angkatku, bukan anak kandungku”

“apa ?” setengah berteriak, aku berseru .

“sstttt… jangan teriak teriak, orang orang melihat ke arah kita, dikiranya aku sedang memaksamu, heheeee…”

“ aduh.. sudah kakek kakek juga, masih saja genit”

“tapi masih pantas untuk menjadi suamimu kan ? Dan kita akan mengurus dua pernikahan sekaligus. Kau percaya gelang itu yang sudah mempertemukan kita bukan ? Kau sudah melakukan hal yang benar tanpa sadari” Aku mengernyitkan alis tanda tidak mengerti

“gelang itu memang sudah seharusnya diwariskan dari ibu kepada anak perempuannya, dan engkau tidak berkewajiban lagi memakainya sampai mati seperti janjimu dulu”

Ya Tuhan.. aku begitu lega. Tidak pernah merasa selega ini. “jelek..memangnya siapa yang mau menikah denganmu?” tanyaku merengut.

“aku tidak bertanya, tapi matamu sudah menjawab mau.”

Aku tersipu, tentu saja aku mau, karena engkaulah belahan hatiku yang kini menyatu. Gelang itu memang mengikat hati kita dan kini sudah membawamu kembali .



denpasar, harinyepi, 31 maret 2013

widyastuti