Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Jumat, 07 November 2014

LIN.. AKU KANGEN

Gus beringsut pelan dari tidurnya. Takut perempuan yang pulas di sampingnya terbangun karenanya. Jam dinding di ruang tamu telah beberapa lamanya berdentang duabelas kali.
Terdengar dalam ruangan seperti palu yang menghantam hantam jantungnya atau semua penghuni rumah ini juga. Entahlah. Selalu terasa suara jam itu begitu keras untuknya sehingga selalu ia terbangun karenanya. Berbanding terbalik dengan suara ibunya yang begitu lembut saat membangunkan dirinya.
Ibu, ah… Gus teringat perempuan tua yang telah melahirkannya itu. Rambutnya yang putih seolah menjadi saksi berapa lama ia memasung egonya untuk anak semata wayangnya itu. Keriput di tangannya bercerita tentang kerasnya hidup yang sudah dijalaninya. Ah.. ibu.. berapa lama Gus tak mengunjungi makamnya.
Berbulan bulan sejak ia tinggalkan kota kelahirannya untuk tinggal di rumah yang membuatnya merasa kosong. Ia teringat kota kelahirannya. Setiap pagi di hari minggu, ia akan bercengkrama di pasar burung, dengan beberapa pedagang yang dikenalnya. Hampir tiap malam dia menghabiskan waktu di taman kota sambil melukis atau sekedar ngobrol dengan rekan rekannya. Gus rindu.
Gus menghela nafas. Diraihnya sebungkus kretek dari dalam laci meja di sebelah tempat tidurnya. Hanya ini yang tidak mampu diturutinya dari semua permintaan istrinya. Gus tidak boleh memakai pakaian sembarangan kalau keluar rumah, apalagi hanya memakai kaos doplang dan celana pendek seperti saat dia di rumahnya sendiri. Gus tidak boleh makan dengan tangan, harus memakai sendok. Makan harus bersama di meja makan, tidak boleh mendahului. Gus tidak boleh.. tidak boleh.. tidak boleh…. Ah…persetan dengan semua itu.
Disulutnya sebatang rokok, setelah mematikan AC. Lalu dibukanya jendela. Istrinya pasti akan marah kalau melihatnya merokok dalam kamar. Memberikannya merokok pun ia sudah demikian terpaksa. Gus tersenyum sinis. Menarik ujung bibirnya sendiri, menertawakan dirinya sendiri.
Istrinya beringsut menghadap ke samping. Matanya masih terpejam . Dia erat memeluk bantal. Pasti kelelahan setelah pendakian menuju puncak kenikmatan beberapa saat yang lalu. Suatu kebanggaan bagi naluri lelakinya apabila perempuan itu menjadi tak berdaya di bawah keperkasaanya.
Tak dipungkiri, perempuan yang dinikahinya setahun lalu itu, begitu cantik. Wajahnya tak bercela. Hidung mancung, muka bulat telur, mata yang sendu, alis seperti semut beriring, bibir yang merah merekah bagai tomat segar di pagi hari. Dan kulitnya putih dan licin seperti kaca, dimana lalat yang hinggap disana pasti akan terpeleset karenanya.
Cantik, itu bisik temanya waktu dia bercerita dirinya akan menikah karena menjadi lelaki pilihan perempuan itu.
“ Darimana kau tau dia cantik ?” tanyanya antusias. Bukan karena cantiknya tapi karena perempuan itu telah memilihnya menjadi calon suaminya. Bagaimanapun Gus ingin tau.
“Aku pernah melihatnya di mall beberapa bulan yang lalu. Seperti biasa dia dijaga pengawal bapaknya yang jendral itu. Apa kau belum tau ? ” kata temanya.
Gus mengerdikkan bahunya. Dia memang belum tau. Yang dia tau , kemarin , seorang lelaki berbadan tegap dan berpakaian serba hitam, datang ke rumahnya, dan memintanya bersiap siap untuk menikah dengan putri majikannya. “anak anda adalah lelaki pilihan anak majikan kami. Jika ibu berkenan saya akan menjemputnya beserta ibu dua hari lagi.” Katanya kepada ibu “silakan ibu bersiap siap” lanjutnya lagi.
Dengan memandang Gus cukup lama, ibunya mengangguk, tak peduli protes yang terpancar dari mata anaknya. Ya .. hanya dari mata, sebab ia belum cukup berani mengakui ada perempuan lain yang sering menunggu kedatangannya.
Tapi bagaimana ibunya bisa semudah itu percaya ? Semudah itu memberikannya pada lelaki yang entah dari mana asal muasalnya. Lalu menikahkannya dengan perempuan, entah bagaimana rupanya. “Ibu sudah tua mungkin sebentar lagi mati, sedangkan engkau belum juga memilih seorang perempuan untuk mengurusi hidupmu yang hampir tidak jelas itu. Jadi terima saja pinangannya.”
Katanya tegas dan tak terbantah kali ini. Mungkin sudah hilang sabar atas pertanyaannya bertahun tahun tentang perempuan yang akan menjaddi menantunya, tapi belum juga mendapat jawaban pasti. “tapi bu, aku..” suara Gus tercekat di kerongkongan. Ibunya menatap tajam. Harus bagaimana mengatakan pada ibu, aku sudah punya calon pendamping tapi dia masih istri orang ? Walaupun suaminya sdh tdk lagi peduli tapi mereka belum bercerai. Ah… bagaimana ibu akan mengerti. Lalu diputuskannya untuk diam.
Dan kemudian di sinilah ia tinggal, meninggalkan makam ibunya yang pergi menghadap kepada asal muasalnya, dengan senyum bahagia di kota kelahirannya. Ibu..bahagiakah kau disana melihat anakmu ini , hidup seperti ini ? Tak ada yang benar benar ingin dia lakukan. Setiap hari matanya hanya memandangi kanvas, dan tangannya mengoreskan cat minyak, yang entah sudah berapa banyak dihabiskannya. Tak ada hasil lukisannya yang dirasa memuaskan hatinya seperti dulu . Selalu ada yang kurang. Lukisannya kosong, tanpa jiwa.
Rokoknya hampir habis, dilihatnya istrinya menggeliat mengubah lagi posisi tidurnya. Fisik, tak ada yang kurang dengannya. Pun dalam hal pengetahuannya tentang hobi dan pekerjaannya sebagai pelukis. Dari pelukis luar negeri sampai yang tenar di dalam negeri, ia mampu menandingi pengetahuan Gus, yang diraihnya di sebuah universitas dengan tertatih tatih. Lalu pada sebuah pameran yang pernah diikutinya, disanalah istrinya mengenalnya dan mengaku jatuh cinta padanya.
Apa yang kurang , hingga setiap malam ia selalu merasa gelisah, dan akhir akhir ini, beberapa minggu ini, sejak sebuah sms masuk ke handphone nya dari sebuah nomor baru. Istrinya bertanya heran, kenapa sekarang ia sering melamun. Ayah mertuanya memandangnya aneh, juga ibu mertuanya, bahkan para pembantunya.
Kini, kerinduannya berujung pada satu titik. Bukan lagi ibunya, bukan lagi kota kelahirannya tapi pada perempuan bermata sayu itu. Yang suaranya tegas tapi lembut. Yang belaiannya pada rambutnya seperti ibunya sendiri. Lin, perempuan yang ditinggalkannya begitu saja. Ya, sms itu pasti darinya, nalurinya begitu yakin. Kalimatnya singkat, “Mas… apa kabarmu ? semoga engkau bahagia” berulangkali dibalasnya sms itu tapi tak ada jawaban lagi. Ah Lin.. Apa kabarnya sekarang ?
Gus merogoh bungkus kreteknya lagi, disulutnya, lalu dihisapnya dalam dalam. Tak bisa dipungkiri, hatinya kini sungguh merindukan perempuan itu. Teringat saat dengannya, duduk berdekatan di teras rumahnya, berjalan menyusuri pantai saat dini hari, saat berboncengan mengukur jalan jalan di kota kelahirannya itu, atau saat mendengar bisikan manja dan lenguhan tak berdaya perempuan bermata sayu itu. ‘Lin….aku merindukanmu’
Jam di ruang tamu berdentang dua kali. Sudah pukul dua. Ternyata sudah hampir dua jam dia duduk dalam remang remang kamar itu. Rokoknya masih tersisa setengah. Rasa kantuk menyerang matanya. Gus tertidur.
Dia terbangun karena suara ribut di sekitarnya. Suara istrinya, suara para pembantunya dan rasa panas di kakinya. “Mas bangun mas, bangun..” kata istrinya, “tuan bangun tuan, ada kebakaran..” jerit pembantunya. Mendengar itu dia melompat dan tersadar ujung piyamanya sudah terbakar. Rupanya rokok yang tinggal setengah itu jatuh di karpet dan menimbulkan nyala api.
“ Engkau hampir membakar rumah ini , Mas “ ujar istrinya dengan nada marah yang tertahan. “Maafkan aku, Sin, aku ketiduran”
“Bukankah sudah kukatakan aku tidak suka engkau merokok dalam kamar. Engkau tidak boleh…” Dan istrinya mulai mengeluarkan dalil dan aturan aturan yang sepanjang sejarah hidupnya sampai detik ini, tidak ia sukai.
“Cukup. Aku bosan dengan kata tidak boleh itu, aku bosan dengan aturanmu ” sergah Gus. Dia muak, setiap kali di hadapkan pada kata tidak boleh dari istrinya. Hak apa dia selalu melarang ini dan itu. Bukankah dia sudah tau, sifatnya memang bebas dan tidak suka aturan yang kaku dan mengikat, itu katanya sejak istrinya mengenal dia dan mempelajari kepribadiannya.
Memang dia menumpang tinggal di rumah mertuanya. Tapi itu bukan karena kemauannya, semata mata karena istrinya tidak mau tinggal di rumah suaminya, Gus. Memang dia bukan orang sekaya istrinya tapi dia masih punya penghasilan, setidaknya dengan menjual lukisan atau menjual jasa melukis orang di tempat- tempat wisata. Dan itu tidak membuatnya malu. Tapi istrinya malu. Tentu saja, dia anak jendral. ‘dan aku lelaki pilihan’ keluh Gus dalam hati.
Istrinya ternganga melihat Gus membentaknya. Tak pernah disangka. Selama ini Gus selalu menuruti apa maunya. Memang kecuali merokok itu, tapi itupun Gus minta dengan sangat manis dan hampir memohon mohon yang membuatnya memberinya ijin.
“Aku akan pulang. Aku minta maaf sudah membuat kerusakan dirumahmu. Secepatnya akan aku ganti. “ Kata Gus dengan segera menukar bajunya . Tekadnya bulat, ia akan pulang. Tidak peduli istrinya mau ikut atau tidak.
Beberapa hari sudah ia berada di rumah ibunya. Istrinya tidak juga datang menyusulnya. Ah sudahlah. Biarkan saja dia di istananya itu, katanya kesal. Tapi seiring dengan itu pula kerinduannya pada Lin kian besar. Sampai akhirnya dia dengan segala keberaniannya datang ke rumahnya. Dia masih disana. Tinggal sendiri. Menyambutnya dengan senyum yang sama seperti dulu, dengan mata yang lembut seperti dulu, “Mas… apa kabar ? Kapan pulang ?” tanyanya. Seolah tidak pernah ada waktu terbuang diantara mereka.
“Lin, …aku kangen”
Hanya itu, sebelum keduanya berpelukan dengan penuh kehangatan.