Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Sabtu, 20 Agustus 2011

PEREMPUAN

Terkait dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, dan seringnya mendengar pekik merdeka, terketuk hati saya terhadap apa yang sayapikirkan selama ini mengenai perempuan. Indonesia sudah merdeka 66 tahun yang lalu, tapi apakah jiwa kita sudah merdeka, terutama sekali kaum perempuan ?

Mengapa saya masih melihat apa yang diperjuangkan oleh R.A.Kartini puluhan tahun lalu masih saja belum sepenuhnya tercapai. Lihat saja contoh nyata, berapa banyak kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi, dan korbannya kebanyakan adalah kaum perempuan selain anak anak. Belum lagi pelecehan terhadap perempuan di tempat tempat umum. Tidak ada istilah pelecehan laki laki bukan ?

Dan bagaimana dengan issu mengenai kesetaraan gender. Benarkah perempuan telah sama hak dan kewajibannya dalam melakoni kehidupan ini ? Sungguh saya merasa bahwa, issu tersebut hanya sebuah wacana, karena pada kenyataannya perempuan selalu terbatas geraknya dibandingkan dengan laki laki. Ambil saja contoh. Seorang perempuan bekerja pada malam hari, dan seorang laki laki yang juga bekerja pada malam hari. Coba katakan dengan sejujurnya, berapa orang yang menggunjingkan perempuan dan berapa yang menggunjingkan si lelaki ? Pasti lebih banyak yang menggunjingkan perempuan bukan ? Padahal mereka sama-sama bekerja, mencari nafkah.

Bagi perempuan  yang tidak bekerja, sesungguhnya tugas dan kewajibannya tidak lebih kecil dari seorang lelaki yang bekerja. Seorang perempuan bekerja di rumah dari pagi, baru bangun tidur sampai malam saat menutup mata. Sedangkan laki laki bekerja dari pagi, paling maksimal sampai pukul empat atau lima sore. Tapi mengapa banyak yang melecehkan pekerjaan rumah tangga , semata mata karena pekerjaan itu tidak mendatangkan uang ?

Apalagi perempuan yang bekerja , tugasnya duakali lebih berat, mulai dari urusan rumah tangga dan juga memikirkan peekerjaannya sendiri. Berapa banyak lelaki yang ikut serta dalam mengurus rumah tangga ? Bagi para lelaki, tanyakannya pada diri anda sendiri.

Seorang pemimpin perempuanpun, terkadang dipertanyakan kemampuannya, bahkan dengan menggunakan dalil agama, seorang perempuan dilarang memimpin karena disebutkan bahwa jika perempuan mulai menjadi pemimpin maka dipastikan bangsa itu telah berada pada ambang kehancuran. Dan pada sebuah tulisan yang saya baca, disebutkan perempuan adalah seorang pebisnis yang baik, karena perempuan berbisnis dengan menggunakan hati. Perempuan tidak mudah menjadi koruptor.

Lalu mengapa perempuan terjajah ? Diantara penyebabnya adalah dirinya sendiri, yang selalu merasa maklum terhadap kekangan pada dirinya dengan alasan , memang sudah kodrat menjadi perempuan. Sesungguhnya yang manakah kodrat dan yang manakah diskriminasi terhadap perempuan ? Selain itu juga disebabkan karena persepsi di masyarakat , dimana perempuan harus selalu sersikap nrimo, menerima perlakuan apapun pada dirinya.

Menurut hemat saya, kodrat itu alamiah, yang bersifat biologis, seperti mengandung, mengalami mestruasi, mudah mengeluarkan air mata , feminim, dll. Diluar semua itu, maka jika terjadi pengekangan terhadap hak- haknya sebagai manusia itulah yang disebut dengan  diskriminasi.

Jika sila kedua dari Pancasila memang benar benar diamalkan dalam kehidupan sehari hari, maka tidak akan pernah ada kasus penganiayaan terhadap manusia lain, utamanya perempuan, yang notabene diasumsikan mahluk yang lemah ( tapi saya tidak setuju dengan pernyataan itu ). Dan jika memang asumsi itu benar mengapa perempuan malah dianiaya dan bukan dilindungi ?

Demikian hebat peran perempuan sampai sampai , ada istilah sorga ditelapak kaki ibu. Tapi hal itu tidak diikuti oleh penghargaan yang semestinya terhadap perempuan. Penghargaan yang dimaksud adalah persamaan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Menghilangkan sinisme terhadap kaum perempuan dan menghilangkan persepsi bahwa wanita adalah objek. Baik objek penganiayaan, objek pekerja dan objek seks. Mulai berpikir bahwa perempuan adalah berhak atas segala kebebasan yang dimiliki laki laki.

Sebuah bangsa yang kuat dan terhormat adalah dimana para perempuan dihormati dan dimulyakan, salam....

Jumat, 19 Agustus 2011

EUFORIA HUT KEMERDEKAAN RI

Euforia pesta rakyat,, HUT Kemerdekaan Republik Indonesia,, 


Lomba panjat pinang,



usaha yang terus menerus




  tidak mudah putus asa....


gigih, ulet........


ketekunan akan membuahkan hasil...


trus berjuang....


dengan penuh semangat dan kerjasama untuk memperoleh kemenangan....


tidak pernah menyerah.....


 tabah dan bersemangat, ayooo...
 

akhir perjuangan , mencapai kemenangan.....

dapat hadiah deh..... heheheeee....




Rabu, 11 Mei 2011

Alam Kampungku

Kampungku terletak di bagian utara pulau Bali. Tepatnya di Desa Les Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng. Secara geologis, kampungku berdekatan dengan pesisir pantai dan dikelilingi oleh bukit. Itu yang menyebabkannya, menyimpan banyak potensi alam baik laut maupun pegunungan. Salah satu objek wisata yang sedang dikembangkan dan juga sering dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara adalah air terjun Les,








Ini adalah pantai pegonjongan , dan pantai penyumbahan, dasarnya rata dan dangkal , sangat cocok untuk rekreasi pantai. Banyak penduduk bermatapencaharian sebagai nelayan.












Datang dan lihat keindahannya..........


Selasa, 10 Mei 2011

Hai.... ini aku , Komang..

Hai... ini aku , Komang Ksatria dan gadis kecil yang berbaju merah itu adalah temanku namanya Defi,
Foto ini diambil saat aku mengikuti lomba  peragaan busana di sekolah,
yang diadakan dalam rangka Hari Kartini,,  heheee... ganteng ya...
dan waktu itu aku mendapat juara tiga,,




Nah.. kalau foto di bawah ini adalah foto kakakku, Kadek Paramahita , yang juga sedang mengikuti lomba yang sama, dan anak laki laki yang menjadi pasangannya adalah Kak Nara, Kakakku cantik ya..





Kalau yang satu ini , adalah kakakku yang pertama, namanya Putu Mahyuni, manis juga kan ? hehee...
Foto ini diambil waktu kami sekeluarga sembahyang ke Pura Uluwatu, yang terletak di Kabupaten Badung, Bali







Ini fotoku berdua dengan kakakku,  seru seruan , niiiii....




dan ini aku, heheeee.....




Senin, 09 Mei 2011

Disini aku memujaMU

sanggah / merajan
( pura)

Piyasan dalam sanggah/merajan



pemedal sanggah/ merajan
( pintu masuk )



pemedal sanggah/ merajan
( pintu masuk )

Minggu, 08 Mei 2011

cerpen : GADIS KECIL

Gadis kecil itu, seorang pedagang buah keliling. Setiap hari sekitar pukul sembilan pastilah lewat di depan sekolah , tempatku mengajar.  Beberapa kali terlihat berhenti sebentar di depan sekolah mungkin berharap ada yang akan membeli dagangannya. Kupikir enak juga makan buah, sambil mengawasi murid yang sedang beristirahat.  Suatu hari akhirnya kupanggil juga gadis kecil itu.  Ia tersenyum lebar dan dengan cepat menuju ke arahku, yang melambaikan tangan memanggilnya. Aku menunggu seraya duduk di bangku depan kantor guru. Sesaat kemudian dia datang dan menurunkan talam besar berisi buah yang telah dikupas bersih dan dibungkus plastik. Karena kulihat ia sedikit kerepotan dengan dagangannya yang masih penuh dibandingkan tubuhnya yang ringkih, maka kubantu dia meletakkan dagangannya di atas meja.
Wah.. banyak macam buah ternyata. Pisang rebus, nanas, papaya , melon dan semangka yang sudah di kupas dan dipotong potong. Kuambil beberapa buah yang kusukai , begitu juga temanku sambil bertanya ini dan itu. Seperti dia dari mana, siapa namanya , kenapa bisa berjualan di sini , tinggal dimana dan banyak lagi . Tentunya yang bertanya bukan aku saja tapi juga teman teman guru yang lain yang notabene perempuan. Ya, tahu kan perempuan, biasa lebih banyak ngomongnya. Bahkan ada yang menawar dagangannya setengah harga. Si gadis , pedagang buah hanya tersenyum kecut.
            Awalnya gadis kecil pedagang buah itu malu – malu dan masih sungkan menjawab pertanyaan kami. Dia bilang , namanya wati, dari sebuah desa di kabupaten paling ujung timur pulau bali. Dan tinggal di Denpasar sudah setahun, katanya dengan bapak ibu dan tiga adiknya. Sementara teman – teman lain bertanya , aku lebih tertarik mengamati wajah dan tingkah lakunya. Anak ini manis, kulitnya putih bersih. Ada tahi lalat kecil diatas bibirnya. Kalau saja terawat pastilah terlihat lebih cantik. Tidak terlalu tinggi ataupun pendek. Cuma terlihat kurus dibalik bajunya yang kedodoran. Rambutnya ikal mayang, sangat bagus sebetulnya, hanya saja sepertinya jarang di keramas.  Ketika ditanya umurnya , dia bilang tidak tahu. Mungkin sepuluh atau sebelas tahun. Tapi kupikir dia berumur sebelas atau dua belas tahun. Lalu kami selesai berbelanja dan gadis kecil itu segera mengangkat dagangannya, menjujungnya di atas kepala dan dia berlalu dari hadapanku. 
            Begitulah kemuadian kami berlangganan buahnya setiap hari. Semakin lama karena sering digoda, ia mungkin merasa sedikit akrab. Bahkan beberapa teman pernah memberikan baju bekas anaknya kepada gadis kecil itu yang menerimanya dengan mata berbinar-binar senang. Tanpa dipanggilpun, gadis itu akan datang dan menurrunkan dagangannya di depan kantor di meja piket. Meskipun itu sebenarnya sedikit mengganggu tapi kami tidak sampai hati untuk mengusirnya, dan selalu ada saja satu dua orang yang membeli buah – buahnya. Suatu hari ketika dia datang dan aku tidak sedang mengajar, dia bertanya padaku, “ Bu ..Apakah ibu memang bercita cita menjadi guru ?” 
Aku berpaling dari buah yang sedang kupilih dan melihat wajahnya. Kelihatannya dia serius ingin tahu, tapi aku hanya menjawab dengan tertawa dan balik bertanya “ memangnya kenapa ? apa saya kelihatan tidak cocok menjadi guru ?”
“ emmm…. Bukan begitu bu, saya suka menjadi guru” katanya malu malu.
“ kamu ? mau jadi guru ya ? pernah sekolah ? atau masih sekolah ?” aku bertanya lagi, kali ini kutanggapi dengan sedikit serius. Aku lupa apakah ia pernah bercerita pernah sekolah atau masih bersekolah. Jadi kutanyakan lagi.
“ sebenarnya pernah bu, sampai kelas tiga “ katanya. Matanya menatap ruang ruang kelas di seberang halaman yang sedang ramai oleh celoteh para siswa dan suara guru yang sedang menjelaskan. Seolah ia teringat ketika masa bersekolah dulu. “ tapi sekolah saya di desa bu, jelek, tidak sebagus sekolah disini,” lanjutnya. Aku hanya tersenyum. Tidak menanggapi benar apa yang diucapkannya. “ Sekolah saya dulu, halamannya penuh debu, air sangat susah di desa kami, kadang – kadang ada air kalau musim hujan. Tapi tempatnya jauh dan kepala sekolah menyuruh kami mengambil air untuk mengisi bak penampungan di sekolah dan menyiram tanaman “ Aku mulai larut dalam ceritanya. Kuperhatikan bibirnya dan tatap matanya yang terbelit kenangan di desanya. Tiba – tiba aku merasa antusias menunggu certanya. Tanpa terasa aku bertanya “ trus ?”  Dia menoleh ke arahku mengalihklan sejenak pandangan matanya dari ruang – ruang kelas di depannya. “ trus apa bu ?” tanyanya polos.
“ maksud saya, kenapa kamu berhenti bersekolah kalau ingin menjadi guru ?” tanyaku.
Dia menatap kakinya dan menggerak gerakkannya seolah mengorek tanah, sebelum menjawab sambil menunduk, “ bapak dan ibu menyuruh berhenti, suruh bantu membuat gula. Adik saya tiga, masih kecil “ Pandangannya menerawang . “ Desa kami sangat kering, tidak ada mata pencaharian apapun yang bisa menghasilkan banyak uang. Karena itu kemudian kami pindah kemari” Tiba tiba kulihat ia menjadi dewasa, lebih dewasa dari umurnya. “ Air tidak ada , tanaman sulit tumbuh, bapak ibu dan saya hanya hidup dari menjual gula merah.” Ya … desa itu memang sangat kering , hanya pohon lontar yang bisa hidup.. Dan apalagi yang bisa dihasilkan dari pohon lontar, tentunya airnya yang diolah menjadi gula merah.
“ bu…. Boleh saya pinjam buku ?” tanyanya seolah telah kembali dari pengembaraannya ke masa lalu. Aku mengernyitkan dahi “ pinjam buku ?” tanyaku. “ Tidak boleh ya bu ?” tanyanya sungkan. “ Buku apa yang mau kamu pinjam ?” aku bertanya takut dia kecewa. “ kalau boleh,, buku apa saja untuk dibaca, saya belum lancer membaca, saya takut menjadi lupa kalau tidak sering membaca lagi “ katanya dengan mimik serius. Hatiku terharu mendengar kata katanya. Lalu aku masuk ke ruang guru mengambil sebuah buku cerita di atas meja. Kebetulan tadi aku sempat mengambilnya dari perpustakaan sekolah. Dan kuambil juga sebuah buku tulis kosong dan sebuah pensil. Biarlah sekalian kuberikan padanya. Kasihan. Ketika keluar , ternyata gadis kecil itu sudah tidak ada lagi. Aku lihat berkeliling, rupanya dia sedang mengintip anak-anak yang sedang belajar di kelas. Aku menggelengkan kepala. Dia menoleh ketika aku memanggilnya. Kuserahkan padanya sebuah buku dan pensil yang kuambil tadi, seraya mengingatkannya agar tidak melihat anak anak belajar lagi, karena akan mengganggu konnsentrasi mereka. Dia minta maaf dan setelah mengucapkan terimakasih atas pemberianku serta berjanji akan mengembalikannya jika sudah selesai, gadis itupun berlalu kembali , berjalan semakin menjauh membawa buah – buahan dagangannya . Terkadang, ia berjualan sampai sore,  sampai dagangannya habis terjual.
            Setelah hari itu, ia masih sering datang ke sekolah , tempatku mengajar, masih berjualan buah, masih sering meminjam buku, dan masih sering juga bercerita tentang desanya, tentang keluarganya, tentang adiknya yang menurutnya hanya bisa meminta uang saja, terutama adik bungsunya yang berumur enam tahun. Masih sering bertanya tentang ini itu yang terbersit dalam pikirannya, seperti mengapa orang bersekolah harus memakai seragam ? atau mengapa murid murid harus mengikuti upacara bendera ? Ah…. Pertanyaan itu, gampang gampang susah juga menjelaskan hal itu padanya . Sampai suatu hari ia tidak pernah datang lagi.
            Karena lama tidak muncul, kami semua menanyakan satu sama lain. Kenapa ya , dagang buah itu tidak muncul lagi ? Aku bertanya tanya juga dalam hati bukan karena satu buku ceritaku sedang dipinjamnya, tapi rasa kangen juga mendengar ceritanya. Kami juga sudah rindu ingin ngemil buah buah segar yang dibawanya, sambil istirahat di ruang guru atau mengawasi murid. Tapi gadis kecil dagang buah itu tak kunjung muncul juga.
Beberapa bulan setelah gadis kecil itu tidak muncul lagi, dan kami telah hampir melupakannya, tiba – tiba sebuah berita mengejutkan dibawa oleh seorang temanku. Katanya, ia melihat gadis itu, sangat berbeda, sekarang berjualan nasi ‘jinggo’ tiap malam di pinggir jalan, dengan pakaian yang ‘seronok’ . Sudah bukan rahasia lagi, beberapa pedagang nasi ‘jinggo’ nyambi menjadi gadis ‘cemilan pria nakal’.
Ah.. aku menyangkal, tidak mungkin. Anak itu masih terlalu kecil.
‘ Benar bu, coba saja kesana sendiri, malam baru buka diatas jam delapan, saya yakin itu dia, saya lihat rambutnya dan tahi lalat kecil diatas bibirnya itu”
Dalam hati, masih kusangkal berita itu. Entah kenapa hatiku tidak rela. Seolah ada yang meremas hatiku.
            Maka itu, dengan harapan dagang nasi yang disebut temanku, bukanlah gadis kecil yang kukenal itu, dan rasa penasaran yang teramat mengganggu, aku mencoba datang ke tempat yang disebutkan temanku. Dibawah sinar lampu jalanan yang remang remang, kulihat dua orang gadis sedang berjualan dengan sebuah meja kecil. Itu dia. Kudekati dengan sepeda motorku dan berhenti tepat di depan dagangan mereka. “ Beli nasi ya bu ?” tanya seorang dari mereka. Memang pakaiannya sedikit menor. Ah… aku menggeleng sendiri. Kubuka kaca helm dan kulihat seorang diantara dua gadis itu. Darahku terkesiap, memang benar , gadis kecil dagang buah  itu, yang selalu datang dengan baju kedodoran, rambut kaku karena jarang diberi sampo, dan raut muka yang lugu, kini telah berubah hanya dalam hitungan bulan, denga rias muka, bedak, gincu , sedikit pewarna di kelopak mata, dia tampak cantik dan manis dengan tahi lalat kecil di atas bibirnya. Bajunya merah tanpa lengan, dengan leher yang rendah. Entahlah pakaian bawahnya, tidak terlihat jelas karena duduk di belakang meja.
“ wati ?” sapaku. Ia tampak terkejut dan mengamati wajahku yang masih memakai helm. “ibu ?” dia sedikit terkejut. “ Ibu guru ya ? emmm…. Tumben bu , beli nasi malem malem di sini . Oh ya… buku nya belum saya kembalikan” katanya cepat seolah menutupi  keterkejutannya melihatku. “ Tidak apa, tidak usah dikembalikan “ Hanya itu yang keluar dari mulutku. Dan setelah membayar , akupun segera berlalu. Apa yang harus kukatakan ? Hanya dia dan keluarganya yang tahu , dan mengerti mengapa perubahan itu harus terjadi.

cerpen : SEBUAH KISAH YANG TERLUPAKAN


Hari sudah rembang petang ketika Sari mulai menggelar dagangannya, di sebuah warung kecil di pinggir jalan dimana ia berjualan setiap hari. Warung kecil dengan ukuran dua kali tiga meter itu tempat mereka sekeluarga menggantungkan harapan masa depannya dan adiknya. Dengan sebuah meja panjang dan tiga buah bangku panjang yang dipasang mengitari meja.

Ibunya sedang mengambil air untuk cucian di sumur dekat warung mereka. Sari menata minuman di atas meja. , membersihkannya dari debu – debu yang berterbangan di jalan sambil mendengarkan lagu – lagu dari sebuah radio kecil yang dibawanya dari rumah.
Lampu – lampu mulai menyala dari rumah – rumah penduduk di sekitarnya. Ketika ibunya datang dan menyalakan lampu, ia masih membersihkan bangku – bangku panjang dengan sehelai kain , bekas baju adiknya yang sudah tak cukup lagi untuk dipakai. Tentu saja . Kalau baju itu masih cukup, meskipun sudah lusuh pasti tak mungkin menjadi pembersih meja itu.

“ Mudah – mudahhan saja hari ini ramai ya “ gumam ibunya dari belakang warung. “ Sudah banyak kita berhutang beras belakangan ini di toko Pak Wayan “
 
Sari mendengar keluh ibunya, tapi masih diam. Ia sudah terlalu sering mendengar keluhan itu belakangan ini. Terdengar balai bambu di belakang berderit pertanda seseorang telah duduk diatasnya. Tentu itu ibunya, yang akan setia menemaninya disana sampai tengah malam nanti.

Sari duduk di bangku samping meja, sambil memandang ke arah jalan . Terdengar sesekali suara tawa beberapa lelaki yang sedang berkumpul ditemani minuman keras di balai banjar . Sesekali pula didengarnya suara bapaknya dari arah yang sama sambil tertawa tawa . Bagi Sari suara itu terdengar menjijikkan. Sudah terlalu sering seperti itu. Dan suara tawa bapaknya itu hanya akan berhenti ketika subuh tiba dan pulang dalam keadaan mabuk Ah….. dia mendesah sendiri. Dipandangnya keujung jalan, masih sepi. Sari teringat rengekan adiknya tadi siang pada ibunya. “ mak… ningsih malu, teman – teman semua sudah membayar uang buku,, Cuma Ningsih saja yang belum mak..” Dan seperti biasa ibunya hanya mengatakan “ sabarlah.. mudah – mudahan malam ini ramai, jadi besok kamu bisa membayar uang buku itu ..” Sari tahu , dari ujung matanya , ibu sedang memandangi dirinya, entahlah apa maknanya.
Beberapa hari yang lalu memang bapak datang saat subuh setelah tiga hari pergi entah kemana. Tentu saja bapak hanya meminta uang dari ibunya. Sari terbangun ketika didengarnya suara ribut dari kamar ibunya.
“ bujuk anakmu itu, biar mau seperti si Kanti itu. Jangan sok , seperti orang kaya “ suara bapak setengah berteriak.
“ tapi pak.. Sari tidak mau , lagipula saya juga tidak suka dengan cara si Kanti menarik pelanggan kita “ kata ibu pelan.
“ kamu juga jangan sok.. sudah tidak makan – makan masih sok saja “ teriak bapak lagi diiringi suara sendawa yang hebat. Pasti mabuk lagi. Kasian ibu ,,
“ lebih baik kujual saja anak itu pada orang kaya kalau dia tak mampu mendapatkan uang tiap malam “ kata bapak lagi. Kali ini terdengar suara pintu dibanting dan suara sandal yang diseret menjauh .
Seorang lelaki tua menghampiri warung kopi , menghentikan lamunannya,,
“ kopi satu “ katanya, sambil duduk di bangku depan meja.
Sari bangkit dan menyiapkan secangkir kopi.
“ sepi ya ?” katanya lagi, Sari hanya mengangguk. Disajikannya secangkir kopi, lalu ia duduk kembali.
“ Kenapa kamu tidak seperti si Kanti saja ? Lihat.. warungnya selalu ramai bahkan sampai besok pagi “ kata lelaki tua itu sambil menyeruput kopinya dengan nikmat. Sari tak menanggapi.
“ Baru beberapa bulan buka warung kopi, sekarang sudah bisa kredit motor, apa kamu tidak mau seperti itu ? “ lanjut lelaki tua itu lagi. Seingatnya lelaki tua ini memang sering datang ke warungnya. Kata ibunya dia tidak punya keluarga. Suka bekerja serabutan. Sepertinya orang baik, tidak seperti beberapa orang yang datang kewarungnya, bukan hanya untuk berbelanja tapi minta lebih. Colek sana sini. Dan Sari tidak suka. Tapi itulah yang diharapkan bapak, seperti si Kanti itu, sehingga banyak langganan Sari beralih ke warungnya.

Karena Sari tidak menanggapi lelaki itupun diam saja menikmati kopinya. Setelah membayar , diapun pergi. Warung Sari kembali sepi. Sari teringat kakaknya yang dulu yang menjaga warung ini tiap malam. Entah dimana dia sekarang. Dia pergi dari rumah, dan Sari sendiri tidak mengerti apa masalahnya. Mungkin dipaksa ayahnya juga. Ah… apa aku harus pergi juga ? pikirnya. Tapi kalau aku pergi bagaimana dengan sekolahku yang tinggal beberapa bulan lagi. Lagipula apa yang akan kukerjakan dengan hanya bermodal ijasah SMP , mungkin hanya menjadi seorang pembantu rumah tangga. Sedangkan sedikit lagi ia sudah akan menamatkan SMA nya. Dan bagaimana dengan ibu dan adiknya jika ia pergi ? Apa yang akan mereka lakukan ? tak mungkin buka warung karena adiknya masih terlalu kecil, baru kelas enam SD . Paling paling mereka hanya bisa menjadi buruh angkut pasir, atau pemecah batu di pantai. Mungkin aku harus mengikuti kemauan bapak, seperti si Kanti itu, yang selalu tertawa genit pada pelanggan yang datang, dan berpakaian minim yang memperlihatkan bentuk tubuhnya, atau membiarkan siapa saja memegang bagian tubuhnya ? Ah………. Dan malam itupun berakhir dengan beberapa pembeli, yang tak ‘ berduit ‘ .

Pada malam berikutnya, terlihat Sari duduk di bangku depan mejanya, dengan pakaian yang begitu minim , seperti si Kanti, saingannya itu. Rok mini dan baju ketat tanpa lengan yanmg memperlihatkan bentuk tubuh dan kulitnya yang mulus. Terlihat jauh lebih cantik dan Kanti yang sedikit kelebihan berat itu. Ibunya hanya terdiam memandanginya bersolek, sore tadi. Hanya di matanya terlihat kesedihan yang begitu nyata. Kemiskinannya telah memaksanya untuk bungkam, dan memaksa anaknya untuk melakukan yang tak ia kehendaki.

TIDAKLAH MEMINTA BANYAK

Wahai anakku …
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku …
empat puluan tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.
Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
Wahai anakku …
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…

kiriman dari  : Sandro Balawangak ( seorang teman dari bagian timur Indonesia )

cerpen : GADIS

senja ini kulihat lagi gadis itu, duduk termenung di bangku taman, di pojok, tepat di bawah pohon flamboyan seperti setiap kali aku melihatnya juga, kulirik sekilas. gadis itu masih dengan raut muka yang sama sedihnya seperti berkali kali kulihat di tempat itu juga namun tak mengurangi cantik wajahnya.  umurnya kupikir tak lebih dari 20 tahun. bentuk badan yang bagus, dan langsing,

tiba tiba aku tertarik untuk mendekatinya, hitung hitung menunggu teman, yang berjanji menjemputku di tempat ini.

"permisi mbak" sapaku pelan

sedikit ragu membuka pembicaraan karena perempuan itu tak sedikitpun tertarik untuk menoleh kearahku. Matanya masih betah memandang kolam ikan yangberada tepat di tengah taman.

kepalanya sedikit menoleh, lalu menggeser sedikit duduknya menjauhiku.

'' suka ikan ya mbak ?" tanyaku asal. tak tahu apa yg harus diucapkan." saya juga suka, bahkan saya pelihara beberapa ikan di akuarium"

Kali ini dia menoleh , benar benar menoleh, bukan hanya melirik. Ternyata dia memang cantik. Sebagai laki-laki tentu saja aku suka. barangkali bisa berkenalan lebih jauh. Tidak banyak orang di taman kota sore ini. hanya beberapa yg sedang berjalan jalan santai di sekeliling taman. jadi aku lebih leluasa untuk mendekatinya.

" saya juga suka " jawabnya pendek dan sangat pelan. ya ampun... suaranya manja mendayu,, sempurna,,
" saya sering melihat anda di tempat ini " ucapku.
dia tersenyum sekilas " ya mas " jawabnya
" ada yang ditunggu ?" tanyaku hati hati
dia mengangguk.
" apakah teman ?"
dia menggeleng
" saudara ?" tanyaku lagi
dia menggeleng lagi. aku kehabisan kata. ah.. susah juga kalau dia hanya menggeleng. lalu kuberanikan diri bertanya lagi, " apakah pacar ?"
dia tersenyum. wah... ternyata dia menunggu pacarnya. tapi kemudian dia berkata " bukan"
aku menatapnya penuh tanya. sesungguhnya ingin bernyata lagi tapi takut dikira terlalu ingin tahu. jadi aku hanya diam dan hanya menatapnya saja.
lalu gadis itu berujar lagi " saya menunggu mas '' sambil menunjuk diri saya. tentu saja saya kaget. " saya " tanyaku meyakinkan sambil menunjuk diri sendiri. " ya , betul mas"
aku mengernyitkan dahi " tapi... saya rasa kita belum pernah kenal , kenapa mbak menunggu saya ? "
Aku masih menatapnya tidak percaya. Mungkin gadis ini cuma bercanda. Terpikir seperti itu membuatku tertawa kecil.
" kamu pintar membuat lelucon ya " kataku. Terasa lebih akrab dengan memanggilnya kamu.
" nggak mas, saya serius . saya sering melihat mas di tempat ini tiap sore. bahkan saya tahu setiap hari senin mas pasti tidak ada " ujarnya
lho kok bisa tahu ? memang setiap hari aku suka ke sini. sekedar jalan keliling sambil cari keringat. Kebetulan tempat tinggalku tak jauh dari sini. Dan hari senin aku tidak bisa ke mari karena jadwal kerja di kantor. wah... aku jadi gede rasa . rupanya ada penggemar rahasia ni , heheeee... aku tertawa dalam hati.
" berarti kamu sering ke sini juga ya ?" tanyaku
" ya mas saya memang sering kemari" katanya sambil tersenyum . senyum yang manis, pujiku dalam hati. aku menjadi semakin tertarik .
" lalu apa benar kamu menunggu saya ?"
dengan serius dia menganggukkan kepala.
" kenapa ...? " tanyaku penasaran
" saya suka sama kamu, mas " katanya tersipu. Sungguh berbeda sikapnya ketika aku baru pertama kali duduk di dekatnya.antara percaya dan tidak aku mendengar kata katanya. Tapi wajahnya sama sekali tidak kelihatan bercanda. Oke ... aku akan ikuti saja. kalau memang ini permainannya, toh kupikir tidak ada ruginya.
Lalu kami mulai saling memperkenalkan nama, alamat dan semua nya, umumnya orang yg baru kenal. Tidak memerlukan waktu lama, kami akrab satu sama lain. Ketika temanku suudah menjemput kami berjanji untuk bertemu lagi esok harinya di tempat yang sama.
dan begitulah kami bertemu hampir setiap hari. semakin lama semakin dekat saja. tapi anehnya dia selalu menolak untuk kuantar pulang atau bertemu di rumahnya , dengan alasan takut orang tuanya marah. baiklah.. itu bukan masalah bagiku. maka jadilah tempat itu , tempat spesial buat kami berdua.
Suatu hari aku bertemu lagi dengannya. sengaja kupilih waktu sedikit malam , agar lebih leluasa.  Taman mulai sepi dan sunyi. kami duduk berdua, masih di bangku yang sama.
wajahnya terlihat cantik disinari cahaya rembulan dan lampu taman yang bersinar remang remang. Aku terbawa suasana. Kepalaku mulai dipenuhi oleh keinginan sebagai laki laki normal. Kumulai dengan memegang tangannya. dia diam saja. Semakin lama tanganku semakin berani dan mulai mencoba membelai rambutnya yang hitam dan harum.
Karena dia masih diam saja, bahkan tersenyum malu, aku bertambah berani. Tanganku mulai menggerayang turun ke punggungnya. Tiba tiba tanganku seperti masuk dalam sebuah lobang . Dan ketika aku mencoba menguak pakaiannya, dia menatapku sambil menyeringai dengan wajah mngerikan, ahhhhh........ aku lari tunggang langgang.Tidak tahu apa yang terjadi , aku mendapati diriku sedang tertidur di sebuah bangku dan dilihat banyak orang. Seorang laki laki tua menatapku tak berkedip.
aku teringat dengan kejadian yang barusan kualami. ihhh... aku bergidik ngeri.. apa yang terjadi ?
Laki laki tua itu berkata " kamu pasti telah bertemu dengan perempuan muda di pojok taman itu "
Aku mengangguk
" syukurlah , kamu masih baik baik saja, anak muda " katanya lagi
" siapa perempuan yang bapak maksud ?" tanyaku
" perempuan itu.... mati tenggelam di kolam itu " kata lelaki tua itu sembari menunjuk kolam di tengah taman. Aku terkejut setengah mati " katanya mati bunuh diri karena pacarnya tidak mengakui dan mayatnya ditemukan terapung di kolam itu dua hari setelah ia mati " lanjutnya . Jadi yang kuajak bercengkrama selama ini adalah hantu ?ihh.....
" bapak juga sering melihatnya " gumam lelaki tua itu.

cerpen : AKU MENCINTAIMU

Aku menatap laki laki yang terbaring di depan mataku. Hatiku teriris melihat wajahnya yang pucat dan badannya yang lemas. Hatiku sakit melihatnya seperti ini. Tanpa terasa air mata mengambang di mataku. Aku duduk di sebuah kursi di samping tempat tidur itu.

Laki laki di depanku yang tak lain dari suamiku sendiri, membuka mata dan melihat ke arahku. Ia mencoba tersenyum. Pahit kurasakan senyum itu. Lalu katanya lembut " maaf, aku tidak melihatmu datang . Sudah lama Ning ?"
Aku menggeleng dan berkata " Tidak Mas , aku baru saja "
" Tidakkah mengganggu pekerjaanmu kalau kamu sering sering kemari menengokku ?" tanyanya lagi
Mendengar pertanyaan itu aku bertambah sedih. Sudah sebegitu jauhkah aku dengan suamiku sendiri ? sehingga ia menjadi sungkan untuk ditengok aku, istrinya sendiri ? Walaupun kuakui pertanyaan itu adalah wajar mengingat hubungan kami selama ini.
Aku menggeleng berkali kali. " Tidak Mas, tidak mengganggu sama sekali. Jangan pikirkan itu. Aku ingin  kamu cepat sembuh" kataku . Tak tertahankan lagi air mata jatuh di pipiku.

Mas Idan, suamiku, menggerakkan tangannya yang kurus, mencoba mengusap air mataku. Lalu aku memegang tangannya dan menempelkan di pipiku. " Jangan menangis. Kamu jelek kalau menangis " katanya sambil tersenyum. Air mataku mengalir semakin deras. Mengapa Tuhan memberikan penderitaan yang berat pada orang yang begitu baik seperti Idan. Seharusnya aku yang sakit. Seharusnya aku yang dihukum. Bukan dia.

Teringat hampir dua tahun silam saat aku mulai mengenalnya. Dia diperkenalkan ayahku. Katanya anak temannya. Aku tidak peduli. Tapi aku mulai menjadi peduli ketika ayah mengatakan dia calon suamiku . Aku terkejut setengah mati. Kenapa ayah begitu tega menjodohkan aku ? Bukankah dia tahu aku sudah memiliki kekasih, dan kekasihku itu sedang tugas belajar di Jakarta.  Aku menentang pernikahan itu.
" Aku tidak mau dijohkan. Kenapa ayah tega memperlakukan aku seprti ini. Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, ayah. Dan aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pilihanku sendiri" kataku setengah berteriak pada ayah dan ibuku, suatu malam ketika mereka membicarakan perjodohanku.
" Dengarkan dulu Ning. Kamu tidak perlu marah seperti itu " kata ibuku
" Ning, dengarkan ayah. Ini yang mereka minta. Ayah tidak bisa menolak. Anak itu, Idam, menyukaimu . Ayah berhutang budi yang sangat besar pada mereka.Tolong mengertilah" kata ayahku memelas. Berkali kali aku berkata bahwa aku tidak menginginkan perjodohan ini, tapi berkali kali pula ayah mohon maaf dan memohon aku mengerti keputusannya.

Akhirnya aku berusaha untuk menerima kenyataan ini. Aku hanya bisa pasrah. Tapi langkah pertama yang kulakukan adalah bertemu dengan  Idam, hanya berdua, karena aku ingin membuat perjanjian dengannya. Maka kulakukan keinginanku itu seminggu sebelum kami menikah.

Di suatu tempat yang sudah kujanjikan, kami bertemu. Kupaparkan semua rencanaku. Kukatakan padanya, aku bersedia menikah dengannya hanya formalitas saja. Aku tidak akan mau melaksanakan kewjibanku sebagai istri, karena aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai suami secara fisik ataupun mental. Aku bebas melakukan apapun yang kumau termasuk bertemu dengan kekasihku. Intinya peernikahan ini hanya pura pura.
Mulanya Idan mengernyitkan dahi mendengarnya. Lalu katanya " kalau aku tidak setuju ?"
" Aku akan bunuh diri atau pergi sejauh jauhnya dari sini." jawabku serius.
" o ya ? Wah.. jangan. Kasihan orang tuamu kalau kamu berbuat seperti itu .Baiklah Aku terima syaratmu itu".
Dalam hati aku berkata , lelaki bodoh. Untuk apa coba , punya istri tapi hatinya tidak. Untuk apa menikah tapi tidak menjadi suami istri yang sesungguhnya. Mulanya aku ingin dia mengundurkan diri mendengar persyaratan yang aku minta. Tapi tak apalah, kuharap lama lama dia akan bosan dan menceraikan aku.

Tibalah kemudian hari pernikahan kami yang dilaksanakan dengan sangat meriah. Maklumlah, Idan anak laki laki satu satunya di keluarga itu. Selain itu mereka adalah keluarga terpandang dan kaya tentunya.

Setelah prosesi pernikahan yang sangat melelahkan itu. kami pindah ke sebuah rumah mungil yang sengaja dihadiahkan ayah idan untuk pernikahan kami. Walaupun mungil tapi sangat lengkap bahkan disediakan juga seorang pembantu . Kata ibu mertuaku , agar aku tidak terlalu capek mengurus rumah dan segera bisa memberikannya momongan. aku hanya tersenyum kecut mendengar perkataannya. Begitulah kami mulai menjalani rutinitas sebagai suami istri pura pura.

Kami tidur di kamar yang berbeda. Pembantuku pernah bertanya padaku masalah itu. Lalu kujawab, " Kami belum terbiasa tidur berdua , Bi. "
Lalu Idan menyahuti " Jangan khawatir Bi, kami akan segera memberi Ibu seorang cucu. Bukan begitu Ning ? "
Bi Inah tersenyum malu. Lalu segera beranjak ke belakang menyelesaikan tugasnya.

Begitulah kehidupan pernikahan semu mulai kujalani dari hari ke hari. Aku tak pernah peduli pada suamiku. Kapan dia pergi atau pulang ke rumah. Ataupun ketika dia berhari hari tidak pulang. Mungkin menengok perkebunannya di luar kota. Tapi aku tidak pernah bertanya.
Begitupun aku. Aku bebas pergi kapan saja dan kemana saja. Teman temanku sering datang ke rumah dan ngobrol sesuka hati tanpa khawatir ditegur suamiku. Karena itu sudah ada dalam kesepakatan kami. Tidak ada larangan untuk apa yang kuperbuat atau yang dia perbuat selama tidak merugikan atau melanggar norma di masyarakat.

Suatu ketika, aku pulang larut malam. Kuhabiskan waktu di sebuah cafe dengan teman temanku seusai pulang kantor. Aku bunyikan bel dan kuketok pintu berkali kali. Tidak ada yang membuka. Lalu kutekan lagi bel dalam waktu yang lama. TerdengaR langkah kaki mendekati pintu dan Idan berdiri di depanku saat pintu terbuka. Aku sedikit terkejut. Dia menjelaskan sebelum aku bertanya " Bi Inah tadi pulang kampung tiba tiba, anaknya sakit . mungkin libur dalam waktu yang lama "

Aku hanya berkata " maaf merepotkanmu " lalu berjalan masuk ke kamarku.
Aku tidak mendengar dia menjawab. Atau apakah dia menjawab atau tidak. Aku tidak peduli.
Di kamar aku segera merebahkan diri.Aku memikirkan perkataan Lili , sahabatku barusan di cafe. Dia bilang pernah melihat kekasihku dengan seorang perempuan. Walaupun tidak ia tidak bermaksud mengatakan bahwa perempuan itu kekasihnya tapi tetap saja hatiku tidak tenang. Karena memikirkan itu aku tidak tidur semalaman dan baru bisa tidur ketika jam telah menunjukkan angka lima.

Tepat jam sebelas siang aku terbangun oleh suara handphone yang terletak di sebelah tempat tidurku. SMS dari teman kantorku. Menanyakan apakah aku tidak masuk kantor hari itu . Kucoba bangun tapi kepalaku terasa berat dan badanku sakit . Ku menggigil kedinginan. Aku sadar, aku sakit. Aku tidak mungkin ke kantor, bahkan untuk bangunpun aku tidak bisa. Kucoba menjawab SMS dan mengatakan aku sakit . Lalu mencoba menidurkan diri kembali.Mungkin setelah tidur beberapa saat aku akan lebih segar. Entah berapa lama aku tidur, terdengar suara pintu di buka. Dan lampu kamar dinyalakan.

" Ning ?" kudengar suara Idan memanggilku. Aku membuka mataku. Aku ingin menjawab tapi tenggorokanku terasa sakit sekali. Idan mendekati tempat tidur lalu menempelkan tangannya di kepalaku ." Ya ampun Ning, kamu panas sekali. Maaf aku tidak memperhatikanmu. Sejak pagi aku sudah berangkat . Maaf " katanya dengan nada bersalah, seolah olah sangat wajar bahwa kami saling memperhatikan. " Akan kupanggilkan dokter " Dia beranjak keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian dia datang lagi membawa segelas teh hangat sebuah roti untukku , katanya " makanlah dulu, hanya ini yang ada. Baru kubuatkan bubur , sebentar lagi matang "
Mau tak mau aku minum juga teh yang dibawanya.

Dalam keadaan seperti ini aku menyesalkan Bi Inah tidak ada di rumah, sebab jika dia ada tentu aku tidak akan bergantung pada Idan. Aku tidak mau berhutang budi. Tapi apa boleh buat. Aku tepaksa bergantung padanya kalau mau sembuh. Karena itu kuturuti saja apa yang dilakukannya. Dia menyuapiku bubur dan memberikan obat padaku setelah menebusnya dari dokter yang datang memeriksaku. Berhari hari dia melayaniku dengan sangat baik bahkan mengelap badanku walaupun aku sangat risih.

Seminggu kemudian , aku mulai bisa duduk. Idan membawaku duduk di teras belakang dan menyuapiku buah apel yang telah dikupas dan di potong potongnya lebih dulu. Aku menatapnya dan berkata "Maaf, aku telah merepotkanmu berhari hari "
" Tidak apa apa Ning. Bagaimanapun kamu kan istriku. Siapa yang mengurusmu kalau bukan aku ?"
jawabnya sambil tersenyum.
" Tapi kamu tidak bekerja berhari hari hanya untuk menjagaku. Aku minta maaf " sahutku sungkan
" Bukan masalah, semua pekerjaan telah aku limpahkan pada seorang pegawai andalanku. Dia bisa melaksanakan sebaik aku melakukannya . Yang penting kamu sembuh dulu "
Aku tidak menjawab lagi. Mulai kupikirkan hal hal yang tidak pernah terpikirkan olehku selama ini. Idan ternyata sangat baik. Begitu kasar aku memperlakukannya, ia masih saja bersikap baik padaku. Seharusnya ia membiarkan aku sakit dan tidak mengurusku, mengingat semua perlakuanku padanya. Apalagi mengingat perjanjian itu, seharusnya dia marah padaku, seharusnya dia tidak peduli, tapi kenapa dia masih baik ? Apakah aku memang telah dibutakan oleh ego ? Ku menjatuhkan penilaian padanya tanpa mau melihat dia yang sesungguhnya ? Ah.. entahlah. Tapi kali ini aku mulai memikirkannya, setahun setelah penikahan kami. Apakah aku telambat ?

Kemudian aku berangsur sembuh, dan mulai ke kantor seperti biasa. Idan juga telah kembali menggeluti pekerjaaanya. Bi Inah belum juga datang dari kampung. Jadi aku berusaha memasak untuk sarapan kami berdua. Mulanya Idan menolak . Dia bilang tidak mau merepotkanku. Tapi karena kupaksa lama lama dia mau juga makan masakanku. Hanya menu sederhana , Tapi kelihatannya dia menikmatinya dan selalu memuji makananku. Kami mulai bisa bercakap cakap bahkan sesekali bersenda gurau. Aku berusaha mengurangi kegiatanku keluar rumah selain pergi ke kantor. Begitupun Idan . sekarang dia sering pulang sebelum makan malam. Aku mempunyai kesibukan baru , yaitu memasak. Kadang dia ikut membantu. Kuperhatika dia setiap hari. Apa sesungguhnya yang kurang darinya Ning ? tanya hatiku. Dia baik, pekerja yang ulet, wajahnya pun tidak jelek jelek amat. Dan badannya sungguh atletis. Pernah aku kedapatan memperhatikannya diam diam. Aku menjadi malu. Untung saja dia selalu menyelamatkan aku dari rasa malu dengan berpura pura tidak tahu apa apa. Lama kelamaan aku merasa ada yang berbeda dengan hatiku. Ku merasa kehilangan kalau dia lama tidak pulang. Aku mulai merindukannya. Apa aku mencintainya ? tanyaku dalam hati. Entahlah..

Suatu hari dia datang dengan  wajah pucat dan kelihatan menahan sakit di perutnya. Aku segera mengajaknya ke dokter. Setelah di cek ternyata hasilnya sangat mengejutkanku . Idan divonis kanker hati. Hidupnya tak lama lagi. Aku terhenyak mendengar perkataan dokter
" Saya harap anda tabah. Suami anda terkena kanker hati. Mungkin hanya bisa bertahan enam bulan lagi " Ya tuhan.. mengapa Kau berikan cobaan seberat ini padaku ? Di saat aku mulai mencintainya seperti yang dia inginkan selama ini, Kau akan mengambilnya dari sisiku. Kenapa Tuhan ?

Berhari hari, berminggu minggu, bahkan berbulan bulan kemudian badan yang dulu tegap itu mulai rapuh. Obat demi obat dimasukkan dalam tubuhnya. Wajah yang dulu selalu tersenyum, meski aku hina dan caci maki, kini terlihat pucat.
Setiap hari aku menemaninya di rumah sakit begitu juga dengan mertua dan orang tuaku. Mereka semua sangat sedih. Dan hari ini aku menjenguknya lagi sepulang kantor, menggantikan ibu mertuaku menunggunya di rumah sakit. Setiap aku melihatnya, rasa penyesalan selalu datang, kenapa aku tidak menggunakan waktu bersamanya sebaik - baiknya. Mengapa Tuhan akan mengambilnya di saat aku sudah mulai mencintainya ? Dan Idan selalu berusaha menyeka air mataku dengan tangannya yang kurus. " Jangan menangis " Itu yang selalu diucapkannya juga.

" Aku ingin menjadi istrimu Mas. Istrimu yang sesungguhnya "ucapku tersedu.
" Bukankah kamu telah menjadi istriku ? Kamu istriku Ning. Kamu istriku " katanya pelan sambil tersenyum. Hatiku bertambah sakit melihat senyumnya.
" Sembuhlah Mas, aku akan melayanimu sebagai istri yang sesungguhnya. Aku ingin memberimu seorang anak, memberi ibumu seorang cucu. Sembuhlah Mas " kataku terisak
" Sudah, sudah, jangan menangis Ning . Kamu adalah istriku. Wanita terbaik dan terhebat yang pernah kumiliki. Jadi jangan menangis. Mana istriku yang yang keras hati itu ? Mana Ning yang tabah dan berpendirian teguh ? "

Aku tidak bisa berkata apa apa lagi. Kucium tangannya, kucium keningnya yang pucat. Lalu kusentuh bibirnya dengan bibirku. Lama , dia memejamkan mata . Kubelai rambutnya yang tipis karena rontok. Kubisikkan di telinganya " Aku mencintaimu. Aku mencintaimu "
Lalu katanya " Terimakasih Ning. Terimakasih karena telah memberikan yang aku inginkan selama ini. Terimakasih telah mencintaiku " Dia melanjutkan setelah menarik nafas dengan berat " Terimakasih karena telah menciumku dengan tubuhku yang rapuh ini . Terimakasih istriku sayang " Aku hanya mengangguk.

Malam itu dia menghembuskan nafas terakhir dengan senyum di bibirnya. Selamat jalan Mas Idan, selamat jalan suamiku sayang, aku mencintaimu, aku mencintaimu.