Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Minggu, 08 Mei 2011

cerpen : AKU MENCINTAIMU

Aku menatap laki laki yang terbaring di depan mataku. Hatiku teriris melihat wajahnya yang pucat dan badannya yang lemas. Hatiku sakit melihatnya seperti ini. Tanpa terasa air mata mengambang di mataku. Aku duduk di sebuah kursi di samping tempat tidur itu.

Laki laki di depanku yang tak lain dari suamiku sendiri, membuka mata dan melihat ke arahku. Ia mencoba tersenyum. Pahit kurasakan senyum itu. Lalu katanya lembut " maaf, aku tidak melihatmu datang . Sudah lama Ning ?"
Aku menggeleng dan berkata " Tidak Mas , aku baru saja "
" Tidakkah mengganggu pekerjaanmu kalau kamu sering sering kemari menengokku ?" tanyanya lagi
Mendengar pertanyaan itu aku bertambah sedih. Sudah sebegitu jauhkah aku dengan suamiku sendiri ? sehingga ia menjadi sungkan untuk ditengok aku, istrinya sendiri ? Walaupun kuakui pertanyaan itu adalah wajar mengingat hubungan kami selama ini.
Aku menggeleng berkali kali. " Tidak Mas, tidak mengganggu sama sekali. Jangan pikirkan itu. Aku ingin  kamu cepat sembuh" kataku . Tak tertahankan lagi air mata jatuh di pipiku.

Mas Idan, suamiku, menggerakkan tangannya yang kurus, mencoba mengusap air mataku. Lalu aku memegang tangannya dan menempelkan di pipiku. " Jangan menangis. Kamu jelek kalau menangis " katanya sambil tersenyum. Air mataku mengalir semakin deras. Mengapa Tuhan memberikan penderitaan yang berat pada orang yang begitu baik seperti Idan. Seharusnya aku yang sakit. Seharusnya aku yang dihukum. Bukan dia.

Teringat hampir dua tahun silam saat aku mulai mengenalnya. Dia diperkenalkan ayahku. Katanya anak temannya. Aku tidak peduli. Tapi aku mulai menjadi peduli ketika ayah mengatakan dia calon suamiku . Aku terkejut setengah mati. Kenapa ayah begitu tega menjodohkan aku ? Bukankah dia tahu aku sudah memiliki kekasih, dan kekasihku itu sedang tugas belajar di Jakarta.  Aku menentang pernikahan itu.
" Aku tidak mau dijohkan. Kenapa ayah tega memperlakukan aku seprti ini. Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, ayah. Dan aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pilihanku sendiri" kataku setengah berteriak pada ayah dan ibuku, suatu malam ketika mereka membicarakan perjodohanku.
" Dengarkan dulu Ning. Kamu tidak perlu marah seperti itu " kata ibuku
" Ning, dengarkan ayah. Ini yang mereka minta. Ayah tidak bisa menolak. Anak itu, Idam, menyukaimu . Ayah berhutang budi yang sangat besar pada mereka.Tolong mengertilah" kata ayahku memelas. Berkali kali aku berkata bahwa aku tidak menginginkan perjodohan ini, tapi berkali kali pula ayah mohon maaf dan memohon aku mengerti keputusannya.

Akhirnya aku berusaha untuk menerima kenyataan ini. Aku hanya bisa pasrah. Tapi langkah pertama yang kulakukan adalah bertemu dengan  Idam, hanya berdua, karena aku ingin membuat perjanjian dengannya. Maka kulakukan keinginanku itu seminggu sebelum kami menikah.

Di suatu tempat yang sudah kujanjikan, kami bertemu. Kupaparkan semua rencanaku. Kukatakan padanya, aku bersedia menikah dengannya hanya formalitas saja. Aku tidak akan mau melaksanakan kewjibanku sebagai istri, karena aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai suami secara fisik ataupun mental. Aku bebas melakukan apapun yang kumau termasuk bertemu dengan kekasihku. Intinya peernikahan ini hanya pura pura.
Mulanya Idan mengernyitkan dahi mendengarnya. Lalu katanya " kalau aku tidak setuju ?"
" Aku akan bunuh diri atau pergi sejauh jauhnya dari sini." jawabku serius.
" o ya ? Wah.. jangan. Kasihan orang tuamu kalau kamu berbuat seperti itu .Baiklah Aku terima syaratmu itu".
Dalam hati aku berkata , lelaki bodoh. Untuk apa coba , punya istri tapi hatinya tidak. Untuk apa menikah tapi tidak menjadi suami istri yang sesungguhnya. Mulanya aku ingin dia mengundurkan diri mendengar persyaratan yang aku minta. Tapi tak apalah, kuharap lama lama dia akan bosan dan menceraikan aku.

Tibalah kemudian hari pernikahan kami yang dilaksanakan dengan sangat meriah. Maklumlah, Idan anak laki laki satu satunya di keluarga itu. Selain itu mereka adalah keluarga terpandang dan kaya tentunya.

Setelah prosesi pernikahan yang sangat melelahkan itu. kami pindah ke sebuah rumah mungil yang sengaja dihadiahkan ayah idan untuk pernikahan kami. Walaupun mungil tapi sangat lengkap bahkan disediakan juga seorang pembantu . Kata ibu mertuaku , agar aku tidak terlalu capek mengurus rumah dan segera bisa memberikannya momongan. aku hanya tersenyum kecut mendengar perkataannya. Begitulah kami mulai menjalani rutinitas sebagai suami istri pura pura.

Kami tidur di kamar yang berbeda. Pembantuku pernah bertanya padaku masalah itu. Lalu kujawab, " Kami belum terbiasa tidur berdua , Bi. "
Lalu Idan menyahuti " Jangan khawatir Bi, kami akan segera memberi Ibu seorang cucu. Bukan begitu Ning ? "
Bi Inah tersenyum malu. Lalu segera beranjak ke belakang menyelesaikan tugasnya.

Begitulah kehidupan pernikahan semu mulai kujalani dari hari ke hari. Aku tak pernah peduli pada suamiku. Kapan dia pergi atau pulang ke rumah. Ataupun ketika dia berhari hari tidak pulang. Mungkin menengok perkebunannya di luar kota. Tapi aku tidak pernah bertanya.
Begitupun aku. Aku bebas pergi kapan saja dan kemana saja. Teman temanku sering datang ke rumah dan ngobrol sesuka hati tanpa khawatir ditegur suamiku. Karena itu sudah ada dalam kesepakatan kami. Tidak ada larangan untuk apa yang kuperbuat atau yang dia perbuat selama tidak merugikan atau melanggar norma di masyarakat.

Suatu ketika, aku pulang larut malam. Kuhabiskan waktu di sebuah cafe dengan teman temanku seusai pulang kantor. Aku bunyikan bel dan kuketok pintu berkali kali. Tidak ada yang membuka. Lalu kutekan lagi bel dalam waktu yang lama. TerdengaR langkah kaki mendekati pintu dan Idan berdiri di depanku saat pintu terbuka. Aku sedikit terkejut. Dia menjelaskan sebelum aku bertanya " Bi Inah tadi pulang kampung tiba tiba, anaknya sakit . mungkin libur dalam waktu yang lama "

Aku hanya berkata " maaf merepotkanmu " lalu berjalan masuk ke kamarku.
Aku tidak mendengar dia menjawab. Atau apakah dia menjawab atau tidak. Aku tidak peduli.
Di kamar aku segera merebahkan diri.Aku memikirkan perkataan Lili , sahabatku barusan di cafe. Dia bilang pernah melihat kekasihku dengan seorang perempuan. Walaupun tidak ia tidak bermaksud mengatakan bahwa perempuan itu kekasihnya tapi tetap saja hatiku tidak tenang. Karena memikirkan itu aku tidak tidur semalaman dan baru bisa tidur ketika jam telah menunjukkan angka lima.

Tepat jam sebelas siang aku terbangun oleh suara handphone yang terletak di sebelah tempat tidurku. SMS dari teman kantorku. Menanyakan apakah aku tidak masuk kantor hari itu . Kucoba bangun tapi kepalaku terasa berat dan badanku sakit . Ku menggigil kedinginan. Aku sadar, aku sakit. Aku tidak mungkin ke kantor, bahkan untuk bangunpun aku tidak bisa. Kucoba menjawab SMS dan mengatakan aku sakit . Lalu mencoba menidurkan diri kembali.Mungkin setelah tidur beberapa saat aku akan lebih segar. Entah berapa lama aku tidur, terdengar suara pintu di buka. Dan lampu kamar dinyalakan.

" Ning ?" kudengar suara Idan memanggilku. Aku membuka mataku. Aku ingin menjawab tapi tenggorokanku terasa sakit sekali. Idan mendekati tempat tidur lalu menempelkan tangannya di kepalaku ." Ya ampun Ning, kamu panas sekali. Maaf aku tidak memperhatikanmu. Sejak pagi aku sudah berangkat . Maaf " katanya dengan nada bersalah, seolah olah sangat wajar bahwa kami saling memperhatikan. " Akan kupanggilkan dokter " Dia beranjak keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian dia datang lagi membawa segelas teh hangat sebuah roti untukku , katanya " makanlah dulu, hanya ini yang ada. Baru kubuatkan bubur , sebentar lagi matang "
Mau tak mau aku minum juga teh yang dibawanya.

Dalam keadaan seperti ini aku menyesalkan Bi Inah tidak ada di rumah, sebab jika dia ada tentu aku tidak akan bergantung pada Idan. Aku tidak mau berhutang budi. Tapi apa boleh buat. Aku tepaksa bergantung padanya kalau mau sembuh. Karena itu kuturuti saja apa yang dilakukannya. Dia menyuapiku bubur dan memberikan obat padaku setelah menebusnya dari dokter yang datang memeriksaku. Berhari hari dia melayaniku dengan sangat baik bahkan mengelap badanku walaupun aku sangat risih.

Seminggu kemudian , aku mulai bisa duduk. Idan membawaku duduk di teras belakang dan menyuapiku buah apel yang telah dikupas dan di potong potongnya lebih dulu. Aku menatapnya dan berkata "Maaf, aku telah merepotkanmu berhari hari "
" Tidak apa apa Ning. Bagaimanapun kamu kan istriku. Siapa yang mengurusmu kalau bukan aku ?"
jawabnya sambil tersenyum.
" Tapi kamu tidak bekerja berhari hari hanya untuk menjagaku. Aku minta maaf " sahutku sungkan
" Bukan masalah, semua pekerjaan telah aku limpahkan pada seorang pegawai andalanku. Dia bisa melaksanakan sebaik aku melakukannya . Yang penting kamu sembuh dulu "
Aku tidak menjawab lagi. Mulai kupikirkan hal hal yang tidak pernah terpikirkan olehku selama ini. Idan ternyata sangat baik. Begitu kasar aku memperlakukannya, ia masih saja bersikap baik padaku. Seharusnya ia membiarkan aku sakit dan tidak mengurusku, mengingat semua perlakuanku padanya. Apalagi mengingat perjanjian itu, seharusnya dia marah padaku, seharusnya dia tidak peduli, tapi kenapa dia masih baik ? Apakah aku memang telah dibutakan oleh ego ? Ku menjatuhkan penilaian padanya tanpa mau melihat dia yang sesungguhnya ? Ah.. entahlah. Tapi kali ini aku mulai memikirkannya, setahun setelah penikahan kami. Apakah aku telambat ?

Kemudian aku berangsur sembuh, dan mulai ke kantor seperti biasa. Idan juga telah kembali menggeluti pekerjaaanya. Bi Inah belum juga datang dari kampung. Jadi aku berusaha memasak untuk sarapan kami berdua. Mulanya Idan menolak . Dia bilang tidak mau merepotkanku. Tapi karena kupaksa lama lama dia mau juga makan masakanku. Hanya menu sederhana , Tapi kelihatannya dia menikmatinya dan selalu memuji makananku. Kami mulai bisa bercakap cakap bahkan sesekali bersenda gurau. Aku berusaha mengurangi kegiatanku keluar rumah selain pergi ke kantor. Begitupun Idan . sekarang dia sering pulang sebelum makan malam. Aku mempunyai kesibukan baru , yaitu memasak. Kadang dia ikut membantu. Kuperhatika dia setiap hari. Apa sesungguhnya yang kurang darinya Ning ? tanya hatiku. Dia baik, pekerja yang ulet, wajahnya pun tidak jelek jelek amat. Dan badannya sungguh atletis. Pernah aku kedapatan memperhatikannya diam diam. Aku menjadi malu. Untung saja dia selalu menyelamatkan aku dari rasa malu dengan berpura pura tidak tahu apa apa. Lama kelamaan aku merasa ada yang berbeda dengan hatiku. Ku merasa kehilangan kalau dia lama tidak pulang. Aku mulai merindukannya. Apa aku mencintainya ? tanyaku dalam hati. Entahlah..

Suatu hari dia datang dengan  wajah pucat dan kelihatan menahan sakit di perutnya. Aku segera mengajaknya ke dokter. Setelah di cek ternyata hasilnya sangat mengejutkanku . Idan divonis kanker hati. Hidupnya tak lama lagi. Aku terhenyak mendengar perkataan dokter
" Saya harap anda tabah. Suami anda terkena kanker hati. Mungkin hanya bisa bertahan enam bulan lagi " Ya tuhan.. mengapa Kau berikan cobaan seberat ini padaku ? Di saat aku mulai mencintainya seperti yang dia inginkan selama ini, Kau akan mengambilnya dari sisiku. Kenapa Tuhan ?

Berhari hari, berminggu minggu, bahkan berbulan bulan kemudian badan yang dulu tegap itu mulai rapuh. Obat demi obat dimasukkan dalam tubuhnya. Wajah yang dulu selalu tersenyum, meski aku hina dan caci maki, kini terlihat pucat.
Setiap hari aku menemaninya di rumah sakit begitu juga dengan mertua dan orang tuaku. Mereka semua sangat sedih. Dan hari ini aku menjenguknya lagi sepulang kantor, menggantikan ibu mertuaku menunggunya di rumah sakit. Setiap aku melihatnya, rasa penyesalan selalu datang, kenapa aku tidak menggunakan waktu bersamanya sebaik - baiknya. Mengapa Tuhan akan mengambilnya di saat aku sudah mulai mencintainya ? Dan Idan selalu berusaha menyeka air mataku dengan tangannya yang kurus. " Jangan menangis " Itu yang selalu diucapkannya juga.

" Aku ingin menjadi istrimu Mas. Istrimu yang sesungguhnya "ucapku tersedu.
" Bukankah kamu telah menjadi istriku ? Kamu istriku Ning. Kamu istriku " katanya pelan sambil tersenyum. Hatiku bertambah sakit melihat senyumnya.
" Sembuhlah Mas, aku akan melayanimu sebagai istri yang sesungguhnya. Aku ingin memberimu seorang anak, memberi ibumu seorang cucu. Sembuhlah Mas " kataku terisak
" Sudah, sudah, jangan menangis Ning . Kamu adalah istriku. Wanita terbaik dan terhebat yang pernah kumiliki. Jadi jangan menangis. Mana istriku yang yang keras hati itu ? Mana Ning yang tabah dan berpendirian teguh ? "

Aku tidak bisa berkata apa apa lagi. Kucium tangannya, kucium keningnya yang pucat. Lalu kusentuh bibirnya dengan bibirku. Lama , dia memejamkan mata . Kubelai rambutnya yang tipis karena rontok. Kubisikkan di telinganya " Aku mencintaimu. Aku mencintaimu "
Lalu katanya " Terimakasih Ning. Terimakasih karena telah memberikan yang aku inginkan selama ini. Terimakasih telah mencintaiku " Dia melanjutkan setelah menarik nafas dengan berat " Terimakasih karena telah menciumku dengan tubuhku yang rapuh ini . Terimakasih istriku sayang " Aku hanya mengangguk.

Malam itu dia menghembuskan nafas terakhir dengan senyum di bibirnya. Selamat jalan Mas Idan, selamat jalan suamiku sayang, aku mencintaimu, aku mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar