Mengenai Saya

Foto saya
aku adalah kamu, kamu adalah aku,

Jumat, 10 April 2015

ADA BARONGSAI DI PURA

Memasuki areal pura , suasana sakral sore itu sangat terasa.  Disamping umat Hindu yang sedang melaksanakan persembahyangan juga terlihat persiapan diadakannya upacara mepepada atau melaksanakan korban suci seekor kerbau.  Kerbau tersebut disucikan terlebih dahulu sebelum dipersembahkan sebagai korban suci yang tujuannya adalah menunjukkan sujud bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan dari luar candi bentar atau pintu masuk pura terlihat atraksi Barongsai memasuki areal pura jaba tengah.

Bukan suatu hal yang kebetulan bila ada sebuah pura di Bali yang mementaskan atraksi Barongsai dalam setiap piodalan. Pura tersebut adalah Pura Dalem Balingkang yang terletak di Kabupaten Bangli , Kecamatan Kintamani, Desa Pinggan.  Desa yang terletak sekitar 15-20 kilometer ke arah timur laut dari Pura Puncak Penulisan di jalur Denpasar Singaraja lewat Kintamani.  Atau sekitar  60 km dari Kota Denpasar.

Udara sejuk khas pegunungan, menyapa umat Hindu yang hendak bersembahyang ke Pura Dalem Balingkang. Hari itu tepat pada Purnama Sasih Kelima, diadakan piodalan di Pura Dalem Balingkang. Upacara yang diadakan setiap tahun sekali itu selalu selalu diadakan tepat pada Purnama sasih kelima, penanggalan Bali atau saat bulan purnama sekitar bulan Nopember.

Struktur  bangunan pura, tergolong unik karena menyerupai sebuah istana raja. Pura Dalem Balingkang memang dipercaya konon sebagai istana Raja Maya Danawa dan kemudian dijadikan pura oleh umat Hindu setempat.  Komplek pura pertama atau di awal adalah Pura Tanggun Titi di ujung sebuah jembatan diatas Sungai Melilit dan  disana terdapat pula sumber mata air atau disebut Taman. Disinilah kerbau yang akan dikorbankan tersebut disucikan.

Kompleks kedua adalah tanah lapang , dulu sering dipakai tempat penginapan bagi umat yang hendak bermalam di pura. Berikutnya adalah jaba tengah. Dan terakhir jeroan atau komplek utama. Salah satu yang sangat menarik dalam kompleks jaba tengah adalah pelinggih atau tempat pemujaan  Ratu Ayu Mas Subandar. Pelinggih tersebut di dominasi oleh warna merah dan kuning emas dengan nuansa tempat pemujaan bagi umat Budha atau wihara.  Di Pura ada wihara?  Sekelebat pertanyaan muncul.  Kesan pertama adalah wujud toleransi yang luar biasa. 

Saya mencoba menelusuri asal muasal adanya pelinggih yang bernuansa Cina di dalam Pura Dalem Balingkang. Tersebutlah seorang raja yang bernama Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah wilayah Pinggan di tahun 1103-1191 Saka  atau 1181 – 1169 Masehi.  Pada saat pemerintahan beliau datanglah seorang pedagang dari Cina yang bernama  Tuan Subandar dan putrinya yang bernama Kang Cing Wie. Karena kecantikan putri pedagang dari Cina tersebut maka Raja Jaya Pangus menjadikannya istri kedua yang bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We.

Setelah istri keduanya tersebut meninggal, karena cintanya, dibuatkanlah sebuah tempat pemujaan yang diberi nama Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar, untuk memuliakan dan memujanya. Sampai hari ini pelinggih tersebut dipuja oleh masyarakat Tionghoa khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya.



Adapun asal muasal nama Pura Dalem Balingkang adalah merupakan gabungan dari kata Bali-Ing-Kang dan kemudian lama kelamaan dalam pengucapan menjadi Balingkang. Selain mempunyai fungsi religious, untuk meningkatkan iman dan takwa terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar juga berfungi sosial yaitu meningkatkan persatuan serta terjalinnya hubungan harmonis antar umat beragama dan fungsi akulturasi dengan adanya kebudayaan baru dalam bentuk bangunan, yang merupakan perpaduan antara budaya Bali dan Tionghoa (Cina)

Yang unik dalam setiap perayaan piodalan di Pura Dalem Balingkang adalah dipertunjukkannya atraksi Barongsai. Barongsai yang diyakini umat dari etnik Tionghoa. Kala itu pasukan dari raja Song Wen kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Dan ternyata upaya itu sukses sehingga akhirnya tarian Barongsai itu melegenda sampai sekarang.

Barongsai juga merupakan cermin dari pola pikir orang Tionghoa yang terwujud dalam pertunjukan Barongsai. Menurut Wu Chenxu, Guo Licheng dan Ye Deming, dalam bukunya Shongguo de Fengsu Xiguan (Taipeh,1977) menyatakan bangsa Toinghoa adalah bangsa yang mengutamakan kebersamaan dan tidak bersifat individualis, dimana dalam tarian Barongsai diperlukan kekompakan sehingga tercipta sebuah pertunjukkan yang dinamis dan yang menarik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar